8. Sengatan Itu

738 77 1
                                    

KHATA'S POV

Belum jauh aku keluar dari perumahan tempat tinggal Kirana, ponselku sudah berdering lagi. Kak Farid menelponku terus sejak aku ke rumah Kirana. Aku hanya butuh beberapa jam untuk menjenguk teman yang sakit, tapi bahkan ketika aku meninggalkan kampus situasi makin memburuk. Rencana semula rapat bersama koordinator aksi berubah drastis menjadi sidang dengar.

“Lo dimana?”

“Jalan, kak.”

“Cepetan, sidang udah mulai. Anak-anak rame di luar. Tolong bilangin sekalian ke anak mediamu sebisa mungkin nggak bocor ke media luar.” Kak Farid menyelesaikan panggilan telpon dengan cepat.

Kepalaku berdenyut lagi, membuatku harus menepi. Aku mencari obat pusing di jok belakang untuk meredakan sakit ini. Aku memejamkan mata, berkata pada diri sendiri untuk bertahan beberapa jam lagi. Setelah aku merasa tenang, aku kembali mengendarai mobilku dengan cepat. Aku tak biasa menyetir cepat, tapi tak ada pilihan lain.

Setelah aku memarkirkan mobilku di depan aula, aku segera berlari ke dalam ruangan melepaskan pemandangan danau di ujung mata. Anggota BEM FEB dan sebagian besar teman-teman kuliah menghampiriku, berdiri di lorong menuju pintu masuk aula, tidak muat di dalam ruangan. Mereka memberiku update apa yang sudah dan sedang terjadi di dalam ruangan, memberikan rangkuman dari bagaimana kak Farid mendapatkan surat undangan sejam yang lalu berisi namanya dan nama para ketua BEM fakultas hingga pembahasan yang sedang terjadi. Setelah berterima kasih aku segera duduk di sebelah kak Farid dan teman-teman ketua BEM fakultas lain. Kami duduk di paling depan menghadap para pejabat tinggi kampus.

Aku mematung mendengar setiap pembahasan yang dikeluarkan. Entah bagaimana, setiap detail dari aksi hari sabtu kemarin menjadi sangat mengaburkan. Hampir keseluruhan detail yang dibacakan tidak ada yang benar. Perutku teraduk, rasanya ada yang mendorong keluar, membuatku merasa mual duduk di depan sini. Bagaimana mungkin mereka dapat menuduh kami pesta miras dan narkoba setelah aksi di taman?

Aku menutup mataku yang lelah, mencoba menguatkan seluruh batin untuk tetap menghadapi tuduhan yang mengancam di depanku. Kilasan memori tadi pagi berkelebat. Matanya yang mulai sayu ketika aku meminta ijin untuk pulang. Namun tak lama, senyumnya yang cantik itu langsung tampak ketika aku bilang akan menemaninya esok. Rasanya aku terhipnotis dengan senyumnya. Aku bahkan lupa untuk menghirup udara untuk beberapa saat. Mungkin Tuhan membuat makhluk satu ini khusus dengan campuran cahaya, tidak sepenuhnya tanah liat sepertiku dan manusia lain.

Bibirku menarik sebuah senyum, aku kembali ke realita dengan semangat. Tidak tahu dari mana energi ini datang, tapi rasanya sekarang aku utuh dan siap untuk membantah seluruh tuduhan tak berdasar itu. Seluruh isi ruangan menegang ketika versi cerita hari sabtu lalu dari kami diperdengarkan. Sebagian besar orang di ruangan ini adalah saksi mata dimana kami berada dan seluruh isinya, bahkan para dosen yang duduk di belakang deretan pejabat di depanku ini percaya pada kami. Meski mungkin kami bukan orang yang paling bisa disebut “taat pada aturan”, tapi semua orang tau, orang-orang yang duduk bersamaku di barisan depan ini memiliki moralitas yang tinggi dan sadar untuk hidup bersih jauh lebih dari barang-barang haram.

Tidak ada satu pun bukti, hanya dua orang saksi dari pihak birokrasi menuntun firasatku mengatakan ini hanya sebuah jebakan. Tidak mengherankan kalau memang ternyata firasatku benar, permasalahan manajemen universitas membawa masalah yang sangat besar terhadap struktur langsung birokrasi. Yang aku dengar, dari pihak pemerintah juga sudah mulai mengendus masalah di dalam sini dengan serius.

Sejak awal ketika pihak BEM pusat mengangkat masalah ini, masalah lebih besar terus berdatangan. Kami semua menyelesaikan dan mengatasi semua masalah satu per satu pelan-pelan. Tidak dapat dipungkiri, semua orang kewalahan menghadapinya. Terutama kami yang duduk sebaris denganku ini, barisan paling depan seluruh aksi. Kami semua rata-rata selalu pulang pagi setelah seluruh perencanaan aksi, tidur hanya sejam dua jam setiap hari dan makan tidak teratur. Bahkan terkadang kami harus mendapat sindiran-sindiran halus dari para dosen. Seluruh energi kami sungguh terserap, sudah beberapa kali teman-temanku tumbang, bahkan ada yang harus masuk rumah sakit. Hanya aku seorang yang belum sakit dan jangan sampai, meski aku sungguh tidak yakin bisa berdiri tegak sampai kapan. Sudah tiga hari aku seperti zombie berjalan, badanku sedang memberontak habis-habisan tidak menuruti keinginanku. Aku sungguh berharap aku masih bisa bertahan dalam beberapa hari kedepan.

Magic In YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang