9. Don't Touch?

801 74 3
                                    

* One Week Later *

KIRANA’S POV

“JANGAN DIINJEK!” Tangan Khata sigap menepis kakiku, membuatku hampir terjatuh. Ia kemudian memandangku dengan muka jengkel. Tak habis pikir dengannya, aku berlari dan naik ke atas sofa.

“Kecoak, Ta! Kecoak!” Aku berteriak jijik padanya, sembari menunjuk hewan kecil yang berlarian di dekat kakinya. Dia kemudian menangkap kecoak itu dengan kedua tangan kosong dan membawanya keluar rumah.

“Kamu harus tau, kecoak itu satu-satunya hewan yang bisa menguraikan busa sabun, mentransformasi limbah rumah tangga menjadi energi yang dapat diserap alam kembali.” Dia masih melihatku dengan muka jengkel sembari berjalan ke tempat cuci di dapur. “Mereka itu hewan kecil yang nggak bermaksud ganggu kamu. Kita, manusia yang justru mengganggu mereka, seenaknya membangun beton-beton di ekosistem mereka. Bukan karena kita berada di level paling atas rantai makanan terus kita bisa seenaknya, apalagi menginjaknya dengan mudah, mereka juga makhluk hidup.” Aku terdiam melihatnya memandangku dengan muka serius. Sungguh? Kita argumen tentang kecoak sekarang? Belum beberapa saat yang lalu kita masih membicarakan teknologi dan robot terbaru yang sedang dalam proses pengembangan. Dan sekarang kita bahas kecoak? Sungguh super sekali, bahasan kami sekarang dari masa depan hingga masa lampau. Sebelum aku selesai mengatur kata-kata untuk membalasnya, dia sudah memotongku. “Manusia itu cenderung takut pada apa yang mereka nggak ketahui, jijik terhadap buruk rupa karena tidak menarik dan tidak normal.” Dia kemudian duduk di sofa tempat aku berdiri dan seperti tersadar mendongak mengarahkan pandangan tajam padaku. “DAN KAMU BERDIRI DI SOFAKU PAKAI SANDAL?!”

Aku terlonjak kaget dengan teriakannya, berangsur duduk di sebelahnya dan memasang senyum di bibirku. Mukanya langsung berubah normal kembali, matanya melembut meski bibirnya masih merucut ke depan seperti bebek. Beberapa hari ini aku semakin menyadari senyuman itu selalu bisa membuatnya menjadi lebih diam dan tenang. Dan sekarang senyum selalu menjadi senjata pamungkasku terhadapnya. Mungkin otot-otot dipipi akan segera kram tak lama lagi. Yang dulunya jarang sekali ditarik untuk tersenyum sekarang harus bersiap-siap diluncurkan jika ada Khata di sekitarku.

“Nggak ninggalin noda kok, liat”

“Trus, tuh item-item apaan hm?”

“Yah, itu mah di cuci juga bisa.”

“Yaudah, kamu cuci gih sono.”

“Ih seriusan aku kamu suruh nyuci sofa kamu? Tega amat!”

“Iya, sekalian mobilku ya.” Aku memandangnya lekat-lekat, yang kemudian dia membalasku dengan muka menantangnya. Sungguh, ini seperti adu kuat siapa tahan paling lama memandang lawan. Dan, dia kalah! Horay! “Fine, ayo nyuci bareng!”

Aku masih duduk manis ketika dia bangkit dan bersiap untuk mengambil dua lap dan seember air. Mataku mengikutinya berjalan ke dapur, melihat setiap geraknya dengan seksama. Dia kemudian berdeham, mengingatkanku untuk berdiri dan membantunya.

“Nih, lap, celupin ke air dikit aja terus lapin ke sofa. Nyampe bersih.” Dia kemudian memberiku lap dan memberiku contoh pada ujung sofanya. Tidak susah menghilangkan noda kotor di sofanya, hanya pelu beberapa kali menggosok dan voila sudah bersih dan putih seperti sedia kala.

“Gini aja?” Ragu kenapa hal semudah ini harus dilakukan berdua.

“Belum selesai, mobilku belum” Ia memiringkan kepalanya dengan muka melotot ke arah parkiran mobil di depan rumahnya.

“Serius!” Aku tertawa, ragu dengan kalimat yang ia ucapkan.

“Bantuin lah, mobilku udah sebulan belum aku cuci nih.” Dia kemudian membalasku dengan tawa dan menarik bajuku untuk dapat menyeretku ke depan rumahnya.

Magic In YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang