40. No Choice

399 50 0
                                    


KIRANA'S POV

Jarak diantara kami masih sangat dekat. Aku bisa merasakan hembusan nafasnya di belakang telingaku, membuatku sedikit merinding. Langit sudah mulai gelap. Lautan sudah mulai tak terlihat. Anka menggandeng tanganku yang bebas.

Beautifull, isn’t it?”

Anka tersenyum sambil melihat ke laut lepas. Anka memang aneh terkadang, tapi bukan berarti dia idiot. Dia adalah salah satu laki-laki paling gentle yang pernah kutemui.

“Yeah.” Aku membalas senyum manisnya. Senyum yang sangat mirip dengan senyum Khata.

Khata melepaskan tangannya dari pinggangku untuk mengangkat panggilan masuk. Aku terus memperhatikannya. Sungguh, siapa yang bisa lepas dengan wajah menawannya itu.

Ada yang salah, raut mukanya berubah sangat drastis. Ada apa?

“Ta? Ada apa?” Jalannya lambat, dia terasa sangat linglung dan bingung.

“Nenek kena serangan jantung.” Aku dan Anka sungguh kaget. Mereka berdua terdiam.

“Rumah sakit mana?”

“Ha?”

“Nenek masuk rumah sakit mana, Ta? Mana kunci mobil! Aku yang nyetir!” Aku segera bergegas ke arah mobil setelah Khata menyebutkan rumah sakitnya. Anka dan Khata mengikutiku di belakang.

“Tenang Ta, tenang, Nenek pasti kuat.” Aku melihatnya sesaat, membaca gelisahnya.

“TIIIIIIIIN! Motor sialan!” Aku mengemudikan mobil dengan gila-gilaan. Bergegas secepat mungkin sampai rumah sakit.

Setelah hampir setengah jam menyetir dengan kecepatan tinggi, kami sampai pada rumah sakit tempat Nenek Khata dilarikan.

“Khata!” Seorang lelaki bergegas menghampiri kami.

“Nenek di mana?”

“Ayo.”

“Om sendiri? Tante Dewi mana?” Anka yang berada di sampingku bertanya pada lelaki itu.

“Tante di jalan baru pulang dari kantor.”
Kami semua akhirnya berhenti di depan pintu kamar. Di dalam terlihat Kakek Khata sedang duduk menemani sang istri. Pria itu kemudian berdiri dan memeluk Khata dan Anka.

Aku dapat melihat selang-selang yang terjulur. Perasaan ini kalut, sama seperti Khata. Nenek Khata, meski hanya enam bulan kami dekat, sudah aku anggap Nenekku sendiri. Beliau sangat lembut dan pengertian. Baru pertama kali aku merasa bisa bercerita dan meminta pendapat pada orang yang jauh lebih tua.

Setelah beberapa jam berlalu, Nenek Khata sudah sadar dan bisa berbicara dengan lancar. Meski masih lemah dan sedikit bingung, Khata kemudian duduk di sampingku, dia terlihat sangat lelah.

“Na, boleh tidur di atas pahamu?”

“Boleh, sini.”

“Maaf ya kamu nggak jadi pulang.”

“Jangan mikir itu. Aku juga ga bakal pulang kalo keadaan Nenek belum membaik.”

“Mm. Aku shock Na. Kakek dan nenek itu jarang sakit. Sekalinya sakit harus dilarikan ke rumah sakit kayak gini.”

“Sabar Khata. Manusia sakit itu wajar, meski kita nggak minta.”

“Hmm. Cuma, ini bikin aku inget kalo kakek dan nenek sudah berumur.”

Tidak ada jawaban yang aku mampu sampaikan untuk membuatnya lebih baik. Siap atau tidak, kita manusia pasti akan meninggal suatu saat. Yang ditinggalkanlah yang harus bersiap, karena mau atau tidak, kita akan kehilangan.

Magic In YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang