24. Anka

468 61 1
                                    

KHATA'S POV

“Ya memang. Banyak sekali daerah-daerah pinggir perbatasan Indonesia yang masih sangat kekurangan perhatian.” Kirana membalas perkataanku setelah menaruh badannya bersandar pada sofa hitam bandara di sebelahku.

“Segalanya selalu terpusat dipusat. Sorot lampu perhatian selalu ke arah pusat. Seperti masalah itu hanya berada di sana. Banyak yang melupakan, tumpukan laporan, tumpukan kertas itu merupakan masalah yang benar-benar terjadi di luar sana. Di dunia yang memang membutuhkan uluran tangan langsung.”

“Yup. Parahnya banyak daerah-daerah itu yang malah diperhatikan dari pihak luar, seperti daerah perbatasan Kalimantan dengan Malaysia, fasilitas kesehatan, penerangan, pendidikan, sampai fasilitas jalan darat dan udara di daerah perbatasan masih banyak yang belum memadai dan kurang. Di sisi lain garis tak terlihat perbatasan negara, seluruh fasilitas disediakan.”

“Oh, ya! Itu aku pernah dapet cerita dari temen. Kamu tau di provinsi Kalimantan Utara sana, ada daerah namanya Krayan. Krayan itu daerahnya masih hijau banget, belum dijamah. Buat kesana transportasinya hanya bisa lewat pesawat ‘capung’ yang pesan tiketnya harus sebulan sebelumnya. Pasokan makanan daerah Krayan sebagian besar bergantung dengan Malaysia. Kamu tau, Na? Beberapa bulan yang lalu pemerintah melarang produknya masuk ke daerah itu. Alhasil, kekuranganlah masyarakat Krayan untuk pasokan makanan.”

“Seburuk itu?” Wajah Kirana menunjukkan mimik keperihatinannya atas apa yang baru dia dengar.

“Iya, itu cuma contoh kecil. Dibandingkan kita yang hidup di perkotaan pasti ‘kekurangan makanan’ nggak akan jadi masalah.”

“Padahal makanan itu sudah dasar manusia untuk hidup.”

“Setuju. Makanya kadang juga suka miris sama kebanyakan orang yang bilang ‘makanannya nggak enak, nggak mau makan’ atau bahkan yang sia-siain makanan gitu aja.”

“Di sini kita sibuk memilih makanan yang enak, disana hanya sekedar ingin makan.”

“Tepat! Na, jalan ke waiting room aja yuk”

“Iya ayuk.” Aku mengambil tas ransel yang ada di depan kakiku dan memakainya. Sebelum Kirana berjalan, aku mengambil tas selempangnya yang berisi baju dari pundaknya kemudian memindahkannya ke pundakku. “Aku aja yang bawa. Kamu bawa tas kecilnya.”

Kirana hanya tersenyum pelan ketika aku mengambil tasnya. Kami berdua kemudian berjalan ke arah salah satu ruang tunggu di sebelah kiri. Setelah melewati pintu kaca kami kemudian duduk.

“Nah, itu yang terlihat jelas. Ada nih program Australia dibawah badan Australian Agency for International Development atau yang biasa disebut AusAID namanya ACCESS. ACCESS ini kependekan dari Australian Community Development and Civil Society Strengthening Scheme. Sesuai namannya, ACCESS ini program inisiatif dari pemerintah Australia dan pemerintah Indonesia yang terfokus pada pembangunan kapasitas komunitas lokal dan organisasi masyarakat dengan cara menciptakan pemerintahan yang lebih baik. Program ACCESS ini banyak berpusat di Wilayah Indonesia Timur yang memang belum banyak hmmm, terjamah dengan baik. Sekarang, secara negatif, bantuan yang diberikan dari Australia itu nggak secara cuma-cuma gitu aja pastinya. Mungkin ini terdengar begitu mencurigai, tapi mereka pasti punya agenda tersendiri sampai mau membantu Indonesia.”

“Hahaha. No comment. Itu udah ranahnya temen-temen dari HI untuk bahas soal hubungan dengan agenda-agenda terselubung. Tapi iya, meski mereka nggak punya agenda tersembunyi, masyarakat yang dibantu dari ‘pihak asing’ akan merasakan yang namanya keterasingan dari negeri sendiri. Istilahnya, sama keluarga sendiri nggak dibantu tapi malah dibantunya sama tetangga. Lebih ke arah dampak psikologisnya.” Aku melihat ke dalam mata Kirana. Aku suka sekali ketika dia mulai berbicara serius, suka ketika mimik muka itu berubah serius untuk melakukan pekerjaan-pekerjaannya.

Magic In YouWhere stories live. Discover now