Hidupku pernah berada dalam kondisi terburuk, kedua orang tua meninggal dan aku diperkosa sudah cukup dapat membuat satu orang berubah menjadi gila. Beban keluargaku tak mempermudah, orang tuaku meninggalkan tanggung jawab satu perusahaan dan satu adik yang tidak mudah di hadapi. Sejak itu, jujur aku tak pernah lagi berdoa untuk bisa bahagia. Karena untukku, sesuap nasi dengan kakek, nenek dan Anka sudah lebih dari cukup. Aku tak pernah menangis, tak pernah membiarkan satu hati pun masuk, satu kata peduli pun merengkuhku. Merawat satu anak autis sudah cukup berat, aku tidak mau menambah beban kakek nenek dengan satu anak yang hancur. Malam pertama aku bisa tidur di kamarku sendiri, aku berjanji aku akan kuat. Aku tidak boleh hancur. Sungguh itu tidak mudah. Melawan dirimu sendiri itu tidak mudah. Melawan dirimu yang sudah hampir gila apa lagi. Aku mencari pengampunan pada Tuhan setiap malam, mencari ketenangan, mencari akal sehat dalam kegilaan ini. Dan tak pernah aku berani menyempilkan doa untuk mendapat kesembuhan atas jiwa yang dingin. Atas batin yang terkoyak hebat setiap petir dan hujan itu datang. Semua trauma, sedih, tangis dan segala sisi gelapku, aku telan sendiri, menerima dan pasrah.

Namun Tuhan ternyata menyiapkan dirinya, Kirana. Meski aku sadar mencintainya adalah dosa. Meski aku sadar, betapa beratnya masa depan bila kami bersama. Namun kesederhanaan atas hadirnya dia di keluargaku, di rengkuhnya dia dalam keluargaku, itu sudah menjadi sebuah kebahagiaan tersendiri saat ini. Meski aku tahu hadirnya adalah cobaan untukku, namun kali ini saja, aku ingin menikmati setiap sel tubuhku merasa bahagia.

“Kakek mau di anter dulu?” Aku bertanya sembari mengenakan seat-belt.

“Iya, kakek janjian sama Pak Edy jam tujuh. Kamu langsung drop kakek di depan aja, nggak usah masuk.”

“Oke.” Aku mengemudikan mobil ke kantor kemudian memutar arah ke sekolah Anka.

“Sampe, sini salim dulu.” Anka mengambil tanganku kemudian mendekatkan ke keningnya. Dia hendak membuka pintu dan mengambil tasnya, namun aku menyela kegiatannya itu.

“Loh, Rana enggak? Pamit sama Rana.” Aku tersenyum pada Anka, begitu pula Kirana yang duduk di sampingku. Anka kemudian mencium pipi Kirana dan pergi dari mobil. Dasar anak gundul, di suruh salim malah cium.

Aku tak segera pulang ke rumah. Aku memilih untuk menjelajah Surabaya. Banyak perubahan terjadi. apartemen, rumah bahkan beberapa taman sudah bermunculan. Tawa tak lepas dari pembicaraan kami. Ayah Kirana sudah mengetahui Kirana telah masuk Islam. Mungkin karena faktor itu akhirnya ayah Kirana banyak mengunjunginya. Tapi Kirana masih tetap merasa asing dengan ayahnya. Buat dia, Ayah dan bundanya sudah tak ada di hidupnya.

Siang ini aku memang hendak membawa Kirana keliling Surabaya. Tentu saja disisipi dengan menjadi supir untuk nenek yang pergi ke arisan dan kakek yang butuh ke Gresik dan Anka yang berakhir ikut kami keliling Surabaya. Tidak buruk, menyenangkan malah. Bila ada Kirana, semua rasanya menjadi menyenangkan.

Langit mulai kemerahan ketika aku, Kirana dan Anka sampai di pelabuhan. Lautan di depan kami, hanya terbatasi dengan pagar besi putih. Kirana yang memakai dress putih selutut dengan slayer berwarna biru tua mengingatkanku akan gadis pelaut. Senyuman di bibirku mengembang tak henti-hentinya. Terpaan angin yang membelai rambut panjangnya itu entah mengapa membuatku merasa Kirana sangat cantik lebih dari biasanya. Aku menggengam tangannya erat.

“Cantik.” Komentarnya sembari melihat matahari terbenam.

“Sepertimu, Kirana.” Dia tersenyum, menyipitkan mata yang sebenarnya telah sipit.

“Makasih.”

“Ayo ke Anka. Aku takut dia mau terjun ke laut nih.” Anka yang dipinggir pagar sudah hendak menapakkan kakinya ke atas. Aku melarangnya, dan dia menurut dengan mudahnya. Syukurlah, dia masih menurut padaku, aku kira setelah enam bulan tidak bertemu dia tidak akan mendengarkan perkataanku lagi.

Anka ada di depanku dan Kirana, dia mengamati sisi lain yang dibatasi pagar putih tersebut sembari mencengkram erat-erat pagar tersebut. Takut terbawa angin alasannya.

Kami melihat matahari terbenam dengan syahdu. Anka sibuk dengan dunianya. Tangan kananku memeluk pinggangnya, memperkecil jarak diantara kami. Tinggi kami yang berbeda memudahkan Kirana untuk meletakkan kepalanya di pundakku. Seakan tubuh ini terpahat untuk pas dengan tubuhnya.

“Ta, aku udah di terima di CSU. Tinggal tunggu visa sama seperti Anka.” Aku menoleh dengan kaget. Benarkah? Kirana akan melanjutkan kuliah bersama aku dan Anka di Colorado? Aku bisa bersama dia empat tahun ke depan?

Aku tidak bisa berkata apa-apa. Terima kasih Tuhan!

Kirana benar-benar membuatku tersenyum lebar, bahagia! Sangat bahagia!

“Kamu? Bener?” Dia mengangguk kecil.

Sebuah beban di hati ini seperti terangkat begitu saja. Aku sangat khawatir dan sedih akan jarang bertemu dengannya. Inilah mengapa sampai sekarang aku belum berniat mengurus keperluanku untuk melanjutkan kuliah di universitas yang sama dengan Anka. Kami baru saja bertemu kembali, aku tidak ingin berpisah. Dan entah kapan Kirana telah memutuskan untuk kuliah di sana, bersamaku, namun ini benar-benar kejutan yang paling membuatku bahagia.

Oh Tuhan, terima kasih.

Magic In YouOn viuen les histories. Descobreix ara