39. Weekend

Mulai dari awal
                                    

Enam bulan memang waktu yang sangat cukup untuk membuat rumahku menjadi kebun binatang mini. Enam bulan memang waktu yang paling lama selama ini aku tidak bertemu Anka. Biasanya sebulan sekali kami pasti bertemu. Aku biasa menjadwalkan kedatanganku agar dia terbiasa.

Aku duduk dengan kakek, mencoba mengusiknya dengan pertanyaanku. Memilih membiarkan Anka bersama Kirana.

“Kek.”

“Hm? Kenapa sayang?”

“Anka udah daftar kuliah?”

“Sudah, tinggal tunggu visa. Kamu kalo emang jadi ikut Anka, urus sana persyaratannya.”

“Iya, nanti Tata urus. Kirana sering ya Kek ke Surabaya sejak aku ke Kalimantan?”

“Sering, hampir setiap minggu malah. Makanya adikmu sekarang nempel sama Kirana. Dia udah biasa tuh sama Kirana. Untung aja, jadi kakek nenek nggak kewalahan.”

“Hmm. Anka nggak pernah kasar lagi kan?”

“Jarang sih, kalo kangen kamu biasanya. Dia susah banget diatur kalo maunya sama kamu.”

“Tapi kakek sama nenek nggak apa kan? Maaf ya kek.”

“Nggak apa Tata, kakek sama nenek juga mau kamu berkembang, nggak selalu terbebani sama Anka. Mumpung Kakek sama nenek masih kuat , masih sehat dan bisa jaga Anka. Lagipula, Kirana juga banyak bantu kok.”

“Oh ya? Bantu gimana nih?”

“Iya, kalo ada dia Anka bisa tenang. Mungkin karena ada temen mainnya.”

Nenek datang membawa sarapan. Aku membantu untuk menata meja makan. Pukul tujuh tepat Anka sudah masuk ke dalam rumah dan duduk di meja makan. Tangannya terus menggengam tangan Kirana. Ini pemandangan yang sangat menyenangkan, melihat adikku yang paling aku cintai rukun dengan orang yang aku sayangi.

Kami membahas banyak hal di meja makan. Selama enam bulan kepergianku ke dalam hutan, sudah banyak hal berubah. Lapangan depan rumah sudah akan menjadi taman. Anka sebentar lagi akan menyelesaikan SMAnya. Kakek sudah mengakusisi dua perusahaan yang hampir gulung tikar. Dan mungkin puluhan selebriti telah bercerai dan menikah lagi.

Aku menghabiskan hari Mingguku bersama mereka. Bermain monopoli, merawat para keluarga baru di belakang rumah dan bermain musik bersama. Aku lupa bagaimana indahnya Kirana bermain piano. Dan yang kini kudengar, adalah permainan sempurna duet Kirana dan Anka. Setelah selesai beberapa lagu, Kirana memintaku mengikuti mereka dengan biolaku. Menjadikan ini konser kecil untuk kakek dan Nenekku.

Senin pagi berjalan lebih cepat. Aku pikir Kirana akan pulang ke Jakarta kemarin malam tetapi ternyata dia mengambil dua hari cuti. Betapa senangnya aku bisa menghabiskan waktu lebih banyak dengannya.

Kirana dan aku sepakat akan mengantarkan Anka dan kakek. Kakek melarangku untuk datang ke kantor, beliau menyuruhku untuk menemani Kirana. Kakek semalam bercerita padaku, beliau menemukan Kirana menangis beberapa kali ketika melihat album fotoku, atau beberapa foto yang dipajang kakek di ruang tamu. Kakek dan nenek sendiri sudah mengerti keadaan keluarga Kirana dan rasa kesepian dariku. Mereka paham bahwa Kirana merindukan sosok keluarga yang utuh dan sosok sahabat yang selalu ada untuknya.

Kakek dan nenek lebih dari senang bisa memiliki satu anak hebat lagi, itu kata mereka ketika berbincang denganku semalam. Hal ini membuatku sangat senang. Mereka bercerita banyak mengenai betapa hebatnya Kirana dalam bermain musik, betapa pintarnya dia membantu permasalahan perusahaan, dan betapa cantiknya dia. Aku bersyukur, sangat bersyukur hidupku kini benar-benar lengkap. Kirana adalah kunci terakhir. Dan lengkap sudah. Ini hidup yang paling aku impikan. Yang paling aku damba.

Magic In YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang