I Fall in the Autumn Part 20

242 33 1
                                    

Entah apa yang aku pikirkan hingga begitu tersadar, sudah ada di kereta menuju ke Nagoya. Pukul 5 pagi mengendap-endap berangkat menuju ke stasiun. Ini adalah kali pertama aku pergi sendiri. Sengaja berangkat sepagi ini untuk menghindari pertanyaan jika bertemu dengan Adrian. Aku tak pandai berbohong.

Kereta pagi penuh dengan orang-orang berpakaian jas. Beberapa wanita cantik dengan tenangnya merapihkan make up sembari berdiri di lorong kereta. Aku berkali-kali mengecek arah tujuan kereta. Memastikan tidak salah arah. Hatiku berdebar kencang. Tepatkah yang aku lakukan?

Tak punya alasan khusus untuk setuju menemui Naoki. Hanya ingin mendengar apa yang akan dia sampaikan. Setelah selama ini rasa suka yang dulu pernah aku sematkan untuknya berubah menjadi benci. Aku tahu itu tak baik, karena itu kuputuskan untuk memberinya kesempatan untuk berbicara dari sisinya.

Sama seperti dua tahun lalu, saat Kyla baru saja menerima pinangan Burham. Dengan bujukan Burham, Kyla meminta maaf. Memang sulit untuk menghapus kenangan pahit, namun tidak ada yang salah untuk sekedar memaafkan. Meski kami tidak lagi akrab seperti dulu. Kupikir, itu sudah menjadi harga yang pantas.

Tak mau menerka apa yang akan Naoki sampaikan. Saat ini, Adrian yang berlari di pikiran. Satria benar, aku memang menyukai Adrian. Tapi juga tidak bisa meninggalkan masa lalu yang belum usai. Hari ini, harus selesai dengan Naoki. Untuk aku bisa tenang menjalani hari baru dan memperjuangkan hati Adrian. 

Seorang anak kecil yang tak sengaja menabrak kakiku, membuyarkan lamunan. Kulempar senyum yang disambut dengan permintaan maaf oleh ibunya. Tanpa terasa, kereta sudah tiba di di stasiun Nagoya. 

Kulangkahkan kaki keluar dari kereta. Menapaki tangga menuju ke arah Sakura Dori, tempat bertemu dengan dia. Debaran jantung mulai terdengar keras di telinga. Setapak demi setapak langkah ini membawa kenangan pada masa lalu. Kepada sosoknya yang selalu memenuhi pandangan mata dan pikiran.

Sengaja aku keluar melalui central gate. Meskipun pintu keluar arah Sakura Dori lebih dekat dengan meeting point kita, namun aku menghindari tatap muka dengannya secara langsung. 

Benar saja, dia berdiri di depan pintu masuk Sakura Dori. Sesaat kutahan langkahku. Namun, sudah tidak ada alasan lagi untuk kembali pulang dan membatalkan. Aku menarik nafas berat sebelum kulangkahkan kaki menemuinya.

"Hai, maaf, udah nunggu lama." Sapaku datar. Naoki menoleh ke arahku.

"Oh hai, kamu keluar dari mana?"

"Central Gate." Jawabku pendek.

Naoki hanya mengangguk. Nampak kegugupan dari cara dia berbicara, menatap dan bersikap. 

"Jadi, apa yang akan kita bicarakan?"

"Uhm... Emi belum sarapan kan pasti? Kita ke cafe aja ya, di depan Meitetsu ada cafe, kita bisa bicara sambil makan roti atau ngopi."

"Oke..."

Aku lalu menuruti langkahnya menuju tempat yang dia inginkan. Sebuah cafe di dalam stasiun Nagoya yang lokasinya tepat di depan pintu keluar penghubung antara stasiun Nagoya dengan Meitetsu Nagoya. 

Aku memesan dua donat manis dan satu gelas royal milk tea. Sedangkan dia memesan sandwich vegan ukuran besar dan kopi pahit. Kami duduk berhadapan di pojok cafe. Wajahnya tertampang jelas, betapa dia tidak berani untuk bertatap mata denganku. Terang saja, aku pun jika menjadi dia, seharusnya tidak akan punya nyali untuk bertemu dengan orang yang pernah dipermainkan.

Kuperhatikan wajahnya untuk kedua kali pertemuan ini. Kacamata yang sama dengan yang digunakannya di Tokyo. Wajahnya kini mulai ditumbuhi bulu halus yang tercukur rapi. Gaya rambutnya terlihat lebih maskulin dengan pomade. 

Aku menarik nafas berat, yang membuatnya memandang kearahku.

"Jadi?", tanyaku.

"Emi, ka..kamu masih marah?"

"Naoki, kamu masih nanya aku marah enggak? Setelah kamu menyaksikan sendiri apa yang terjadi setelah hari itu? Aku, yang biasanya dimaki karena terlalu dekat dengan idola para wanita, yang juga sahabatku, terus......", aku menarik nafas menahan emosi, mengalihkan pandangan mataku ke sudut pintu masuk cafe. 

Naoki masih terdiam. Pandangan matanya tertuju ke mulutku. Membaca gerakan mulut untuk memahami perkataan orang lain. Begitu cara dia berkomunikasi. 

"....terus kamu, Kyla pacarmu dan teman-temannya membuat seluruh isi sekolah satu angkatan menertawakanku karena aku suka sama kamu. Salahnya dimana?"

Naoki terlihat ingin mengatakan sesuatu, namun tertahan.

"Tiap pagi, cowok-cowok cie-ciein, tiap hari cewek-cewek nyinyir. Sampai teman sebangku sendiri nyinyir di telinga. Kamu pikir enak hidup kayak gitu? Satu tahun, Ki, lebih. Selama itu aku hidup menahan malu. Kamu nggak mikir efek psikologis bullying terhadap anak remaja gitu?"

"Aku kehilangan teman-teman dekat, Ki. Karena yang deketin aku dinyinyirin sama Kyla dan teman-temannya. Cuma Satria dan Adrian yang tiap hari bersikap seolah tidak ada apa-apa. Dan sekarang, aku disini, ketemu kamu tanpa aku ngomong ke mereka, dan kamu masih nanya aku masih marah enggak?"

Naoki menelan ludah. Terlihat dari jakunnya yang bergerak turun naik. 

"Jaman sosial media baru marak, kamu blok semua akunku. It's fine. I actually didn't care. Satria bilang, kamu ngomong ke temenmu kalau kamu takut aku bakal add friendster, facebookmu, follow twittermu. You know what? Aku ketawa, Ki. Non sense kelakuanmu. I am not so that into you, Naoki."

Naoki hanya menganggukkan kepalanya sambil memejamkan mata mendengar kata-kataku. 

"Dan, aku ke Jepang juga karena beasiswa. Bukan karena ngejar kamu atau apa. Dan kamu bener-bener harus tau itu."

"Iya...I know, Em..."

"Good, then."



I Fall in the Autumn (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang