I Fall in the Autumn Part 11

219 34 8
                                    

Aku melihat Adrian sedang berbicara cukup serius di teleponnya. Entah pembicaraan seperti apa yang dia dan Rania lakukan, namun raut wajah Adrian berubah, mengisyaratkan ada sebuah masalah. Aku memandangi Adrian dengan perasaan yang tidak menentu. Mungkin benar bahwa aku cemburu. Karena Adrian tidak pernah sekali pun menunda sesuatu yang berhubungan dengan Rania. Tiba-tiba aku teringat perkataan Sony bahwa Rania itu memang tidak begitu jelas kehidupannya, seperti ada yang disembunyikan, dan memilih untuk menjauhi komunitas. Mungkin saja dia dan Adrian memang ada hubungan. Pikiranku sudah tidak bisa dikendalikan karena cemburu yang menyerang hebat.

Sekitar sepuluh menit Adrian meninggalkanku untuk bertelepon dengan Rania, kemudian dia kembali ke tempatku dan meminta maaf. Entah karena dorongan cemburu dan rasa penasaran ini, aku beranikan diri untuk menanyakannya.

"Rania?", tanyaku yang hanya dijawab dengan anggukan oleh Adrian.

"Adrian deket banget sama Rania ya?", tanyaku sambil melihat ke arah lain.

"Rania itu teman aku pertama kali ketika aku datang ke Jepang, Em. Wajarlah kalau kami dekat", katanya sambil tersenyum.

Aku mengutuknya dalam hati atas ketidakpekaannya terhadap perasaan ini. Namun nyatanya, kubiarkan saja seolah tidak terjadi apa-apa padaku.

"Rania ada masalah?", selidikku.

Sambil berjalan menuju ke stasiun Tsurumai, dia menerawang jauh ke depan,

"Rania itu kuat. Yang paling kuat dari semua orang yang kukenal. Termasuk kamu, termasuk aku sendiri pun. Masalah apapun pasti bisa dia selesaikan. Dia cuma butuh teman untuk berbagi. Dan karena temannya disini yang dia percaya sedikit, aku salah satunya, jadi mungkin terkesannya seperti ada sesuatu yang special diantara kami", Adrian mengakhiri penjelasannya dengan senyum kearahku. Aku hanya bisa mengangguk saja mendengar penjelasannya.

"Tapi Adrian ada rasa dengan Rania?", tanyaku tak bisa lagi menahan rasa cemburu ini.

Adrian berhenti sejenak kemudian menoleh ke arahku, menatapku tajam ke arah mataku. Membuat aku sedikit takut, karena mengingatkanku pada tatapan-tatapan Adrian semasa SMA dulu. Adrian menghela nafas sedikit, memegang pundakku, lalu berkata lirih,

"Rania itu sahabatku, Em. Aku kagum dengan Rania, aku suka dengan Rania sebagai sahabat. Dan dua sahabat terdekatku mencintai Rania. Jadi tidak mungkin ada perasaan lain selain sahabat diantara kami. Aku menjaga Rania, untuk Armand dan Andrew, kedua sahabatku"

Tidak ada kata lain yang bisa keluar dari mulutku selain kata maaf, meski aku tidak mengerti apa yang dia katakan. Lantas aku menyadari betapa konyolnya aku dengan rasa cemburuku yang tidak beralasan ini. Aku hanya menunduk setelah itu. Seolah mengerti kecemburuanku dan rasa penasaranku yang besar, akhirnya Adrian membuka cerita mengenai Rania.

"Tunangan Rania, Armand, meninggal karena kecelakaan tahun lalu, tepat beberapa hari sebelum aku berangkat ke Jepang untuk meneruskan S3 ku. Armand adalah sahabatku ketika kuliah di Belanda.Rania lah yang sebenarnya membukakan jalanku untuk ke Jepang atas permintaan Armand juga. Kami berdua setiap hari menengok Armand selama satu minggu di rumah sakit pasca kecelakaan. Sebelum Armand koma dan akhirnya tak tertolong, dia berpesan padaku untuk menjaga Rania. ", Adrian terdiam sejenak. Pandangannya tertuju ke arah papan penunjuk jadwal kereta.

"Rania itu dulunya adalah anak yang sangat ceria. Semenjak kepergian Armand, dia berubah menjadi anak yang pendiam. Orang-orang disini merasa dia menarik diri dari komunitas. Tapi sebenarnya, dia kesepian. Tepat sebulan sebelum kamu datang, ibunya sakit. Rania sendiri saat itu baru saja sembuh dari influenza. Baru saja keluar dari rumah sakit. Jadi aku mengantarnya pulang. Mungkin karena Rania hanya berani meminta tolong padaku, jadi kesannya kami ada hubungan spesial.", kata Adrian sambil menarik senyum. 

"Andrew itu siapa?", tanyaku masih penasaran dengan penjelasan Adrian.

"Ah, Andrew itu teman satu labku. Dia dari Brazil. Sudah beberapa bulan ini menyukai Rania. Tapi Rania belum bisa membuka hatinya untuk orang lain."

Aku hanya bisa menunduk. Menyadari bahwa cerita seperti ini bukanlah sebuah cerita yang menyenangkan untuk dibagikan kepada orang asing sepertiku. Aku merasa bersalah pada Rania. Selama ini aku merasa sebal dengan Rania, padahal aku tidak mengenal dia secara utuh. 

"Sudah, jangan bahas Rania terus, dia tidak suka jika menjadi bahan perbincangan. Mending kita shalat dulu, udah hampir maghrib tapi kita belum shalat ashar. Nanti setelah itu, kita makan. Aku ada langganan restoran Indonesia enak disini.", katanya. Aku hanya bisa mengangguk dan menuruti perkataan Adrian. Entah mengapa, seharian ini dia seperti mempunyai mantra tersendiri yang membuat aku menurut diajaknya.


Lalu kami pergi ke Nagoya Masjid untuk shalat Ashar. Karena tempat shalat untuk laki-laki dan perempuan dipisah, maka kami menuju ke tempat yang sudah disediakan masing-masing. Adrian berpesan untuk sekalian shalat Maghrib di Masjid. Ruangan untuk wanita ini kosong, tidak ada orang. Seusai shalat Ashar, aku duduk di pojok tembok sambil mengisi baterai ponselku dari baterai eksternal. Sesekali aku membaca artikel lepas, atau hanya menengok timeline sosial mediaku. Menjelang waktu shalat maghrib, jamaah mulai berdatangan. Aku melihat berbagai etnis dari penjuru dunia. Mesir, Arab, Bangladesh, Indonesia, Pakistan. Namun yang membuat aku takjub adalah bahwa ternyata di Nagoya ini, banyak orang jepang yang memeluk Islam.

 Namun yang membuat aku takjub adalah bahwa ternyata di Nagoya ini, banyak orang jepang yang memeluk Islam

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Mereka menanyaiku dengan bahasa Inggris dengan ramah. Mereka bilang baru pertama melihatku di masjid. Sambil menunggu shalat maghrib, kami sedikit berbincang ringan mengenai kegiatan orang-orang Islam dan beberapa restoran halal yang ada di Nagoya. Seusai shalat, mereka dengan ramah berpesan agar aku sering-sering mengunjungi masjid ini, baik untuk mengaji atau untuk kegiatan lainnya. Aku senang sekali dengan keramahan ini.

Aku menemui Adrian di luar Masjid, kemudian kami bertolak menuju ke restoran langganannya di daerah Sakae. Namanya Bulan Bali, restoran Indonesia yang menyajikan makanan khas Indonesia. Aku girang bukan main hingga sedikit meloncat ketika sampai di depan restoran. Selama satu bulan ini aku sudah merasakan apa yang dinamakan rindu tanah air, terutama dalam hal makanan. Kami khilaf memesan banyak makanan, mulai dari soto, bakso, oseng tempe, oseng kangkung, hingga sate-satean.

 Kami khilaf memesan banyak makanan, mulai dari soto, bakso, oseng tempe, oseng kangkung, hingga sate-satean

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Cafe Bulan Bali

Bertempat di Sakae, Nagoya


Kami makan dengan lahap seperti orang yang kelaparan, sambil bercerita tentang masa lalu kami di SMA. Tentang bagaimana Kyla mengharapkan Satria, tetapi Satria seperti acuh terhadap Kyla. Tentang Burham yang akhirnya terkabulkan doa-doa semasa SMA untuk bisa berdekatan dengan Kyla. Bahkan sekarang mereka sedang mempersiapkan pernikahannya. Tentang Bisma, ketua OSIS yang terpilih mengalahkan suara Adrian, yang sekarang sudah menjadi diplomat muda ditempatkan di Hungaria. Dan tentang dia, Naoki.  



Catatan penulis:

Nagoya adalah tempat favorit untuk berakhir pekan. Meski gaungnya tidak sebesar Tokyo, Kyoto dan Osaka, Nagoya mempunyai ciri khas tersendiri yang sayang untuk dilewatkan ketika mengunjungi jepang. Tsurumai Park di Part 10, dan Cafe Bulan Bali adalah dua dari beberapa tempat favorit saya ketika mengunjungi Nagoya.

I Fall in the Autumn (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang