I Fall in the Autumn Part 15

241 33 2
                                    

"Emi? Emi Ratnaningtyas?", tanyanya sambil mengambil tasnya yang jatuh tanpa mengalihkan pandangannya dariku.

Kusebut namanya lirih. Melihatnya membuatku seakan memutar kembali rekaman kejadian bertahun-tahun yang lalu. Perasaan rindu bercampur dengan marah, benar-benar tak mengharapkan untuk bertemu saat ini. Saat aku hampir benar-benar melupakannya. Seakan semesta tak membiarkan bibit cinta yang baru ini bersemi. Tak tahu lagi harus bereaksi seperti apa, yang aku sadari hanya bisa diam mematung dengan lidah yang kelu. Aku tahu bahwa kita pasti akan bertemu, tapi tidak saat ini, tidak hari ini.

"Ka..kamu sendirian? Sejak kapan di Jepang?", kudengar suara Naoki mengembalikan kesadaranku. Namun aku masih tak tahu harus bereaksi seperti apa.

"Ya, ini aku, orang yang kamu hina dan injak-injak dulu", rasanya aku ingin berkata seperti itu, atau, "Masih ingat ya kamu sama orang yang kamu permainkan?", namun yang keluar dari mulutku hanyalah, "Hai"

"Kamu...kamu apa kabar? Sejak kapan di Jepang?", Naoki mengulang pertanyaannya. Kurasakan getaran dari suaranya. Dia gugup. Begitu juga denganku.

"Sejak maret lalu", jawabku pendek. Aku tak tahu harus berkata apa lagi. Perasaanku benar-benar bercampur aduk. 

"Ti,,tinggal di Tokyo?"

"Di..Aichi"

"Kesini sama..sama siapa?"

"Sama A..."

"Emi???", kudengar suara Adrian dibelakang memanggil. Terima kasih Tuhan, suara Adrian seolah menjadi penyelamat kecanggungan ini. Aku menoleh kebelakang, Adrian menemukan keberadaanku dan seketika berlari ke arahku.

"Aku tunggu di depan Yodobashi lama, telepon ga diangkat, kamu bikin khawatir aja", Adrian memarahiku, namun aku hanya terdiam mematung.

"Naoki?", sadarnya melihat sosok yang berdiri di depanku.

"Oh hey, Ian.. Kalian...kalian...berdua?"

"Iya, kita barusan dari Ashikaga, Emi besok ada seminar di Tokyo, jadi sekalian aja jalan. Biar nggak stres jikken mulu." kudengar ada getaran pada suara Adrian. Mungkin dia sama denganku, tidak menghendaki pertemuan ini.

(jikken: eksperimen yang biasa dilakukan di laboratorium)

"Mau ngopi?", tawar Naoki.

"Bolehlah, yuk Em", tanpa mendengar persetujuanku, mereka berdua sudah berjalan di depanku.

Sebenarnya enggan untuk ikut, namun aku tak punya pilihan lain. Dan tak bisa pula aku memaksa Adrian untuk menghindar. Bagaimanapun juga, yang bermasalah adalah aku dengan hatiku. Bukan Adrian. Bukan pula Naoki. Mungkin Naoki sudah melupakan apa yang dia pernah perbuat. Ya, tak perlu menunggu 10 tahun untuk untuk melupakan sebuah peristiwa. Mungkin hanya aku yang masih menyisakan luka. 

"Emi pesan apa?", kata Naoki.

"Apa aja terserah", jawabku singkat. Aku melihat perubahan raut pada wajah Naoki. Namun Adrian buru-buru menetralkannya.

"Caramel Latte seperti biasa ya, Em?", sahut Adrian yang kujawab dengan anggukan. 

Saat Naoki membayar pesanan kami, Adrian seolah tahu apa yang sedang aku rasakan, tangannya meremas tanganku sebentar, memberikan tanda untuk menenangkanku. Aku tersenyum dengan nafas yang berat. Kupaksakan diriku untuk terlihat baik-baik saja meski tanganku bergetar. Aku banyak terdiam selama mereka berdua berbincang. Jika tidak ada Adrian, entahlah, mungkin aku sudah lari dan pergi dari tempat ini. Aku tak siap untuk bertemu dengan Naoki secepat ini. Dan mungkin tak akan pernah siap. Aku melihat Naoki beberapa kali melirik ke arahku. Mungkin dia juga merasa tidak percaya akan bertemu dengan orang yang pernah dia permainkan.

Berbeda dengan Adrian yang tidak banyak berubah, Naoki mengalami perubahan yang drastis dibanding dengan sejak terakhir kali aku melihatnya. Badannya menjadi lebih kurus, potongan rambutnya lebih trendy, wajahnya lebih bersih dan kacamatanya berganti menjadi frameless. Terang saja, karena dia sudah menjadi salary man

(Salary man, sebutan untuk pekerja laki-laki di jepang. Kalau di Indonesia mungkin seperti eksekutif muda)

"Jadi kalian satu kampus, tinggal di apartemen yang sama? Bisa kebetulan banget gitu ya?", kata Naoki sambil membagikan pesanan kami. Aku hanya menjawab dengan anggukan, Adrianlah yang lebih banyak berbincang. 

"Iya, Emi datang pas akhir bulan maret buat exchange delapan bulan disini. Guzen, dia dapat apato pas banget di apato gue. Pas ketemu, dia mau ngasih omiyage kan, kaget gue eh dia ternyata, pengen gue peluk tapi nanti kalo dia ngadu ke Satria, gue dibunuh sama Satria", kelakar Adrian dengan sedikit melebihkan ceritanya.

(guzen: kebetulan; omiyage: oleh-oleh)

"Maji de??!! Ii na..bisa ketemu teman lama. Tokoro de, nani shi ni iku no? Waza-waza ke Tokyo sampe ke Ashikaga segala?"

(maji de= sumpah lo?; ii na: senangnya..)

(Tokoro de, nani shi ni iku no: by the way, ngapain kalian ke sini?)

(waza-waza: dibela-belain)

"Dia mulai besok ada seminar di Tokyo, kan tadi gue udah bilang, semenjak dia kesini kerjaannya jikken mulu, sebagai teman lama yang baik, gue ajak aja jalan, sekalian jauh soalnya kapan lagi ada waktu senggang? Lo tau sendiri anak exchange kan buruh lab. Lo sendiri ngapain libur Golden Week malah kerja?"

"Biasa nih, tadi abis kelar jyunbi buat acara besok terus mampir sebentar ke rumah nyokap. "

"Gila shakaijin emang kerja keras bener ya. Kalo lembur dibayar berapa? Ni bai ada?"

(shakaijin: orang yang sudah bekerja; ni bai: dua kali lipat)

"Tapi gue koukan cuti bro, 3 hari ini gue libur. Lumayan bisa buat ke city hall ngurusin segala macem. Cuti....ni bai ga ada si, paling satu setengah kali lipat, atau nambah hyakuen sejam gitu. Enakan baito lah masih kalo soal gaji"

(koukan: tukar; hyakuen: 100 yen, baito: kerja sambilan)

Aku mengaduk Caramel Latte dengan enggan. Terus terang, aku tak ingin bertemu dengannya. Bukan, lebih tepatnya aku tak siap. Jantungku berdetak kencang dan mulai gelisah. Aku ingin segera kembali ke hotel.

"A...sorry, aku boleh pulang duluan? Ada beberapa persiapan buat seminar besok yang belum selesai," kataku ketika sudah tidak bisa lagi menahan kegelisahan ini.

Adrian memandangku dalam. Aku memberikan tanda padanya bahwa aku enggan berada disini, dia mengerti. 

"Astaga, sorry banget Em, aku lupa.", kata Adrian padaku, kemudian menoleh ke arah Naoki, "Bro, kapan-kapanlah kalo gue ke Tokyo kita hangout lagi." lalu kami berpamitan dan berpisah di Akihabara Station. Naoki menggunakan Tsukuba Express, dan kami pulang menggunakan Yamanote Line.

"Em, maaf banget. Tidak seharusnya kita berlama-lama disana. Aku seharusnya lebih mengerti perasaanmu yang mungkin saja belum bisa memaafkan dia," kata Adrian ketika kami berjalan kembali ke hotel. Aku hanya menjawabnya dengan senyuman lemah. 

Aku menyalakan keran bak mandi untuk mengisinya penuh, lalu duduk termenung di ranjang sesampainya di hotel. Adrian salah. Aku bukan tidak bisa memaafkan Naoki, namun hanya tak siap untuk bertemu dengannya saat ini, hari ini. Aku takut perasaan itu muncul lagi untuknya, setelah berusaha kuat untuk mengalihkan perasaan itu untukmu, Adrian. Kamu tak tahu, betapa senangnya aku hari ini, namun rasa senang itu mendadak hilang saat wajahnya muncul. Aku seakan mengutuk alam semesta yang membawa Naoki sekali lagi masuk ke dalam hidupku.

Satria memanggil di telepon genggam, namun aku sedang tak ingin berbicara dengan siapapun. Aku melepas pakaianku, dan masuk ke dalam bak mandi dengan kepala yang terisi bermacam-macam prasangka.


I Fall in the Autumn (Completed)Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt