I Fall in the Autumn Part 8

251 32 11
                                    

"Emi?", katanya dengan sikat gigi yang masih menempel di mulutnya.

"A..Adrian???", pekikku dengan suara yang hampir parau karena masih tidak percaya dengan sosok yang kulihat.

Adrian, bertahun-tahun ini tidak pernah mendengar kabar apapun tentangnya. Sosial media pun dia tidak punya. Alamat email pun aku tidak tahu. Setelah pamit untuk melanjutkan kuliah di Belanda, sudah terputus komunikasi kita. Tiba-tiba, setelah hampir 10 tahun, dia ada di depan mata. Aku memang tidak begitu dekat dengan Adrian, bahkan merasa takut dan sungkan. Namun, ketika kami kelas 3 SMA dan dia duduk di sebelah Satria, kami menjadi sedikit lebih dekat.

"A..aku harus telepon Satria dulu, ngabarin kalau kamu disini", kataku salah tingkah.

"Masuk dulu sini, teleponnya di dalam aja", katanya mempersilakan aku masuk.

Saking gugupnya aku langsung masuk, dan keluar lagi mengambil tas kertas berisi mi instan yang kujatuhkan tadi.

Di dalam rumah Adrian yang begitu rapih untuk ukuran laki-laki ini, aku masih merasa gugup. Aku melihat sekeliling ketika Adrian menyelesaikan sikat giginya. Kulihat sebuah kamera bagus tergantung di dekat meja kerja yang sangat rapi. Sebuah foto keluarga tergantung di sebelahnya. Aku baru sekali ini melihat wajah orang tua Adrian. Baru sekali ini aku mengunjungi tempatnya, padahal kita satu sekolah semenjak SMP. Adrian mempersilakanku duduk didalam meja yang dia sebut namanya kotatsu atau meja penghangat untuk musim dingin. 

"Satria pikir kamu sudah tenggelam di samudra atlantik." Kataku mengutip candaannya beberapa tahun lalu.

"hahaha", kelakarnya, "aku kurang suka bermain sosial media, Em. Hanya membuat orang bertambah malas", Adrian menghela nafas sejenak sebelum melanjutkan, "aku lebih suka bertemu orang langsung, bertukar nomor, jika perlu tinggal kirim pesan atau telepon. Komunikasi dan pertemanan yang lebih real", katanya.

Sedari dulu, Adrian memang punya pemikiran yang lebih dewasa dari teman-teman lain seusianya. Bahkan lebih dari Satria. Namun, mendengar cerita dari teman-teman yang ada disini, aku mengakui bahwa memang prestasinya membuktikan bahwa perkataannya selalu ada juga benarnya.

Kami kemudian berbicara mengenai kegiatan kami. Aku yang mencoba peruntungan untuk menjalani pertukaran pelajar di Jepang, dan berbagai kemungkinan untuk melanjutkan kuliah S3 di Jepang. Sedangkan Adrian, rupanya melanjutkan kuliah S3 di Jepang. Luar biasa, pikirku. Setelah lulus S1 dari Belanda, dia melanjutkan kuliah S2 di Jerman selama 1 tahun, dan sekarang kuliah S3 di Jepang. Sedangkan aku, baru saja hanya bisa sampai exchange student untuk program master. Tapi, Adrian memang sangat pintar semenjak sekolah dulu. Minggu lalu, dia baru saja pulang ke Jakarta untuk peluncuran program aplikasi baru buatannya untuk perusahaan travelling kecilnya. Aku tak kuasa menahan tatapan kagum padanya. Entah mengapa hari ini aku melihat sisi lain dari Adrian yang lebih hangat dan bersahabat, dibandingkan dengan Adrian yang cool dan penuh tatapan dingin yang kukenal dulu.

"Jadi mau telepon Satria?", tanyanya membuyarkan lamunanku dan kujawab dengan anggukan.

Satria sangat kaget hingga berteriak ketika wajah kami berdua muncul di layar ponselnya.

"Woy, Ad, masih hidup kamu?", sapa Satria pertama kali melihat wajah Adrian di layar ponsel.

"Kampret! Kayak gini nyapa teman lama?", dengus Adrian dengan kesal.

Dia bilang bahwa dia iri karena bisa berkumpul kembali setelah lulus SMA. Kami menelpon sekitar satu jam, dan selama itu pula aku berada di tempat Adrian. Setelah puas menelepon Satria, Adrian mengajakku untuk berkeliling dan berbelanja. Dia bilang dia ingin menunjukkan tempat-tempat murah yang setidaknya aku akan pergi kesana jika membutuhkan sesuatu.

Aku kembali ke kamarku sebentar untuk mengambil tas. Lalu kami pergi keliling menggunakan sepeda. Sepanjang jalan itu, kami bercerita tentang banyak hal. Dan ini adalah kali pertama untuk kami saling bercerita satu sama lain. Adrian menunjukkanku banyak hal. Mulai dari supermarket, toko obat, toko kelontong, hingga ke taman di dekat kampus tempat dimana dia selalu merenung mencari inspirasi. Aku menertawakannya ketika dia membawaku ke taman itu. Namun, taman itu memang sangat asri. Adrian bilang, ketika musim semi, sakura di bagian selatan taman mekar dengan indah. Namun jika musim gugur, pohon maple dan ginko di sekeliling taman ini adalah yang terindah dari tempat terdekat lainnya.

"Nanti pas sakura mekar, kamu jadi modelku em. Kamu lihat tadi kameraku di atas meja kan? Ku beli mahal tuh, sayang kalau ga ada modelnya,", katanya berkelakar.

"Eh, aku ga cantik, jangan aku donk, yang lain aja,", sanggahku.

"Ya, nanti dari belakang motonya", ujarnya singkat disusul pukulan tasku ke badannya yang membuat dia tertawa keras. Untuk sejenak, aku tertegun melihat Adrian yang tertawa lepas seperti itu. Aku tersenyum melihat dia tertawa.

"Em, kamu tu kalau senyum manis tau.", ucapnya tiba-tiba dengan tatapan mata tajam, yang membuat jantungku berhenti sementara. 

"Kamu mau merayuku biar jadi modelmu secara gratis begitu?", sanggahku disambut dengan tertawanya lagi.

Kami pulang menjelang maghrib, sekitar pukul 5 sore. Sebelum masuk ke kamar masing-masing, aku melihat Adrian sempat menatapku lama. Aku sempat salah tingkah sejenak. Namun segera kutepis rasa ini. Aku tidak mau berfikiran terlalu jauh. Mungkin juga karena dia sudah lama tidak bertemu dengan teman SMA. Dan aku pun juga merasakan hal yang sama. Begitu senangnya bertemu dengan teman lama di tempat yang sangat baru dan jauh ini. Namun, tak bisa kutolak, bahwa aku merasa benar-benar senang hari ini. Seperti tidak pernah kurasakan sebelumnya.  

Hari-hariku terisi dengan sangat sibuk. Di sela-sela perkuliahan singkat yang harus kujalani, aku juga harus melakukan penelitian di laboratorium. Bahkan, hari sabtu dan minggu pun kadang aku harus berangkat ke kampus untuk sekedar melakukan pengamatan terhadap obyek penelitianku. Jika ada orang yang berkata bahwa orang jepang itu pekerja keras, maka itu benar adanya. Aku sendiri merasakan bagaimana pergi kampus pagi hari dan pulang dari laboratorium menjelang pagi lagi. Namun, aku harus membiasakan ini semua.

Terkadang, aku meminta bercerita kepada Adrian untuk sekedar menyalurkan stres akibat penelitian. Dan tanpa terasa, karena hal itu, aku merasa menjadi semakin mengenal Adrian. Tak jarang obrolan kita dari seputar kehidupan kampus berlanjut ke arah obrolan pribadi. Seperti tentang keluarga kami, hingga tentang cita-cita kami. Dan selama satu bulan ini, tak jarang pula kami berbagi aktifitas bersama. Seperti makan malam bersama, atau berbelanja. Dan hal itu, tidak bisa kuhindari jika memang ada sesuatu lain yang kurasakan tentang Adrian.

I Fall in the Autumn (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang