I Fall in the Autumn Part 16

244 30 0
                                    

Keesokan paginya, aku melepas Adrian di Shinjuku station. Dia kembali pulang, sedangkan aku berangkat ke tempat seminar. Di depan Adrian, sebisa mungkin kutunjukkan Emi yang biasanya, meski dalam hati dan pikiran ada berbagai macam perasaan yang saling berperang satu sama lain. Dalam peralanan ke tempat seminar, aku mengecek ponselku. 150 lebih missed call dari Satria sejak semalam. Dan ada puluhan pesan yang masuk. Hampir semua dari Satria. Aku tahu sahabatku itu sangat khawatir. Tapi ternyata tidak ada satu pesan pun yang menyinggung soal Naoki. Entah apakah Adrian memberitahunya dan sengaja tidak ditanyakan, atau memang dia belum tahu. 

"Aman, Sat. Maaf semalam udah tidur karena kecapekan. Menyenangkan banget, kayak yang kamu bilang, Ashikaga tempatnya romantis banget."

Aku kirim pesan itu ke Satria. Dibalasnya cepat.

"Jadi, Adrian udah nembak kamu?"

Kubaca berulang-ulang pesan Satria. Memikirkan jawaban yang tepat atas pertanyaan ini. Ya, kami dekat. Kami merasakan hal yang berbeda satu sama lain. Berpegangan tangan, menikmati suasana romantis. Bercerita tentang masa depan bersama. Namun, Adrian tidak mengatakan secara jelas apakah dia menyukaiku? Mencintaiku? Apalagi memintaku untuk menjadi pacarnya. 

"Belum."

Hanya kata ini yang pada akhirnya mewakili isi kepalaku. Dan hanya dijawab oleh stiker kecewa milik Satria. Berkali-kali aku mencoba mengetik bahwa kemarin kami bertemu Naoki. Namun berkali-kali pula aku hapus. Aku masih ragu untuk memberitahu Satria, karena pasti dia akan marah, semarah-marahnya. Aku masih ingat pasca kejadian saat SMA itu, Satria mendatangi Naoki dan memukulnya keras. Sejak saat itu juga, dia tak pernah bicara satu patah kata pun dengan Naoki, pun juga dengan Kyla dan teman-temannya. Saat undangan pernikahan Kyla dengan Burham datang pun, Satria hanya mengirim pesan selamat untuk Burham, tanpa menyinggung nama Kyla sedikit pun. 

Pada akhirnya kuputuskan untuk mengurungkannya. Karena aku tahu Satria pasti akan langsung meneleponku. Namun, saat ini hanya seminar dan presentasi yang ada di pikiran. Begitu turun dari stasiun, aku segera mencari lokasi seminar melalui aplikasi peta di ponsel. Tak lama berjalan, akhirnya aku sampai juga di lokasi. Pak Rafi sudah menunggu di depan pintu gerbang, lalu ku menyapa ramah. Belum juga dibalas sapaanku, Pak Rafi justru menggodaku.

"Jadi gimana mbak Emi perjalanan dengan mas Adrian kemaren? Ada hasil yang signifikan?"

Aku hanya berkelakar, "Pak Rafi ni, mentang-mentang mau presentasi, ngomongnya pakai mode scientist."

"Oh ini harus di setting agar presentasinya lancar. Jadi gimana mbak Emi? Apakah ada progress yang signifikan ke atas, atau malah ke bawah?"

"Duh apa gosipnya secepat itu menyebar, Pak?"

Pak Rafi berkelakar, "Tenang saja, Mbak, hanya saya yang tahu. Lha wong mas Adrian yang minta ijin ke saya koq sebelum berangkat."

"Lho??"

"Hahaha, udah wis, ayo cepet masuk, itu sensei sudah di dalam."

Kami lantas memasuki ruang seminar. Begitu takjub aku baru pertama kali memasuki ruang seminar yang berisikan orang-orang yang hebat di bidangnya dari berbagai negara. Tiba-tiba aku terserang rasa kurang percaya diri. Tapi Pak Rafi menyemangatiku, membuatku sedikit bisa tersenyum dan menyapa orang-orang lain. Tak berselang lama, lampu mulai dipadamkan, dan hanya menyisakan lampu di panggung depan, tanda acara sudah dimulai. Pembicara demi pembicara mempresentasikan penelitiannya dengan sangat inspirasional. Aku bersyukur bisa diberi kesempatan untuk menghadiri seminar ini. 

Saat jam makan siang, aku melihat sensei berbincang akrab dengan salah satu pembicara yang di profilnya merupakan orang Indonesia, Dr. Sasi Kirana. Aku mengagumi cara m=penyampaian presentasi beliau. Bahasa Inggrisnya sangat lancar untuk ukuran orang Indonesia, sesekali disisipi dengan bahasa Jepang untuk memecahkan suasana. 

"Itu mbak Sasi senior kita, dia lulus dua tahun lalu. Mbak Sasi lulus, saya masuk S3, Orangnya baik, cantik, ramah, jenius, sayang masih jomblo. Nggak tau kalau sekarang," kata Pak Rafi berbisik ketika saya tanya perilah Dr. Sasi.

"Hoo...saya kalau cowok pasti ngejar, Pak. Bapak nggak ngejar?"

"Saya terlanjur nikah, mbak" kelakarnya.

Sesaat kemudian, sensei dan Dr. Sasi berjalan ke arah kami. Lalu kami berkenalan dan berbincang. Pak Rafi benar, Mbak Sasi memang baik sekali. 

"She is working at AIST, in Tsukuba", kata sensei saat memperkenalkannya.

Mendengar kata Tsukuba, membuatku tak bisa untuk tidak mengingat Naoki. Tiba-tiba saja aku melontarkan pertanyaan bodoh,

"Tsukuba itu dimana?"

Mbak Sasi tersenyum, "Tsukuba itu bisa dibilang lumayan jauh, tapi ya lumayan dekat dari Tokyo. Kalau Emi mau main ke Tsukuba, dari sini nanti ke Akihabara Station, lalu pindah line pakai Tsukuba Ekspress, udah tinggal tidur aja di kereta sekitar 1 jam. Nanti kalau udah sampai Tsukuba station, kabarin aja, aku jemput. Transportasi di Tsukuba lumayan repot kalau untuk turis. Musim gugur di sekitar AIST kece banget lho."

"Waaah, pengen banget ngerasain musim gugur yang sebenarnya, Mbak. Kedengarannya cantik banget Tsukuba itu."

"Tsukuba itu bisa dibilang seperti kota buatan, yang memang ditujukan lebih ke arah riset, makanya banyak banget research center di Tsukuba. Tau JAXA? NASA-nya Jepang? Itu juga di Tsukuba, deket sama tempat kerjaku. Makanya, Emi main ke Tsubuka yuk."

"Wah, boleh mbak, nanti kalau ada libur lagi, cuma harus ijin sensei," kataku seraya memberi kode pada sensei.

Aoyama sensei justru mendukung penuh, dan meminta mbak Sasi untuk menemaniku jika aku ke Tsukuba nanti. Aku tersenyum senang, namun dalam hati, aku seperti ragu. Bagaimana jika aku bertemu dengan Naoki? Tapi, bukankah aku memang ingin mengunjungi tempat itu karena ada Naoki disana?

Pak Rafi menyadarkan lamunanku ketika menepuk pundakku tanda kami harus kembali ke ruangan. Sepanjang seminar setelahnya, aku tak bisa memfokuskan diri ke dalam presentasi. Pikiranku dipenuhi oleh Naoki dan ingatan ketika aku masih menyukainya. Namun, Tuhan memang pandai membalikkan hati manusia, ingatan tentang Adrian pun merasuk masuk seolah membenturkan ingatan tentang Naoki. Jika bukan lagi-lagi karena Pak Rafi mengingatkanku tentang waktu untuk presentasi poster, mungkin aku hanya akan tertinggal duduk di dalam ruangan dengan pandangan kosong. Dan aku menarik nafas lega, aku mampu untuk keluar dari bayangan mereka dan kembali ke dalam realita.

Adrian pernah mengatakan bahwa seminar dan konferensi adalah tempat dimana kita para mahasiswa berkesempatan untuk bertemu dengan orang-orang yang hebat, yang akan membantu kita memoles pikiran kita menjadi lebih berwawasan luas lagi. Dan itu benar. Banyak sekali masukan yang aku dapatkan dari orang-orang yang berkunjung melihat posterku. 

"I am glad that you received many sights, Emi san. It is good for your research, and also for your  own future because you make connections. And you should keep those connections for your benefit, because someday you may need it. Who knows who will be able to help you in the future? Perhaps one of the people that you've met today", kata Aoyama sensei di dalam shinkanzen selepas acara, ketika aku berterima kasih karena telah diberi kesempatan untuk mengikuti konferensi ini. Aku tersenyum senang mendengarnya, sekaligus bersyukur mendapat tempat di laboratorium Aoyama sensei.

Kami, bersama dengan Pak Rafi dan beberapa mahasiswa  kembali pulang bersama dalam satu shinkanzen. Aku melupakan ponselku yang sedari pagi kumatikan. Kunyalakan ponselku begitu aku sampai di stasiun kotaku, setelah berpisah dari rombongan sensei dan juga Pak Rafi. Seperti dugaanku, Satria berusaha keras menghubungiku. Diantara pesan Satria, aku memilih untuk membaca pesan Adrian yang masuk.

"Otsukaresama desu. Kalau sudah pulang, ke rumah ya. Ada sesuatu buatmu."

(Otsukaresama desu adalah ungkapan yang kita ucapkan setelah seseorang melakukan sesuatu pekerjaan, atau selepas pulang dari sekolah. Artinya lebih kurang adalah semacam ucapan terima kasih atas kerja keras hari ini)

Aku mengulum senyum, lalu kulangkahkan kaki riang menuju ke apartemenku, apartemen kita. Ku ketuk lembut pintu rumah Adrian, dan kusodorkan oleh-oleh yang kudapat dari acara seminar. Adrian mengacak-acak rambutku hingga hampir jatuh kacamataku. Diberikannya tas kecil warna putih, sekotak cake cantik rasa vanilla duduk manis didalamnya. Kami berpandangan dan tersenyum. Entah mengapa dadaku terasa lega. Lantas aku bercerita mengenai seminar hari ini, sedangkan dia mendengarkan dengan riang sambil memasak makan malam untukku.



I Fall in the Autumn (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang