SnT | Chapter 14 - Waiting

Bắt đầu từ đầu
                                    

"Ikuti Vic ke mana pun dia pergi. Awasi dan lindungi dia dari pria itu," perintah Rafael pada anak buahnya melalui telepon.

"Baik, Tuan."

Rafael memasukkan kembali ponselnya kedalam saku, kemudian berjalan menuju jendela besar penthouse-nya.

"Aku harus segera mengikat Vic agar Eugene tidak lagi bisa bertindak lebih dari ini."

👔👔👔

Eiffel Tower. Paris—Perancis. 07:32 PM

Sudah setengah jam menunggu, namun Vic sama sekali belum melihat tanda-tanda kehadiran Eugene, bahkan pria itu tidak menghubunginya sama sekali

Rất tiếc! Hình ảnh này không tuân theo hướng dẫn nội dung. Để tiếp tục đăng tải, vui lòng xóa hoặc tải lên một hình ảnh khác.

Sudah setengah jam menunggu, namun Vic sama sekali belum melihat tanda-tanda kehadiran Eugene, bahkan pria itu tidak menghubunginya sama sekali. Vic mulai berpikir jika mungkin saja pria itu lupa atau pria itu sudah benar-benar menyerah. Vic menghela napas, kemudian melirik jam pada ponselnya. Mungkin dia masih bisa menunggu setengah jam lagi. Dan jika Eugene tidak muncul juga maka, dia akan pulang.

Vic memilih untuk duduk diatas kursi panjang sembari menunggu. Kepalanya menunduk dengan mata yang terfokus pada sepasang sepatunya. Kira-kira apa yang harus dia lakukan nanti jika berhadapan dengan Rafael? Sepertinya pria itu tampak marah saat dia ingin pergi. Namun jika dipikirkan lagi, mengapa Rafael harus marah? Vic menarik napas panjang lalu menghembuskannya. Mengapa juga Tuhan harus mempertemukan dia dengan pria semacam Rafael? Sudah cukup hidupnya susah selama ini. Dan dengan adanya keberadaan Rafael dihidupnya, justru semakin menyulitkan.

Ketika pikirannya tengah berkelana ke mana-mana, sebuah bola tiba-tiba saja menggelinding kearahnya dan berhenti tepat didepan kedua kakinya. Kedua mata Vic terfokus pada bola itu dan memungutnya. Kepalanya mendongak dengan mata yang berusaha mencari pemilik bola ini.

Seorang anak kecil laki-laki terlihat berlari menghampirinya. Anak itu sangat menggemaskan dengan tubuh yang berisi dan pipi yang chubby. Membuat sisi usil Vic keluar dan ingin mencubit kedua pipi anak kecil itu.

"Aunty, bolehkah aku meminta bola itu?"

Vic tersenyum kala anak itu bersuara. Baginya suara anak itu sangat lucu. Terlebih kedua bola mata besarnya, sangat menawan.

"Tentu. Tapi, bolehkah Aunty ikut bermain denganmu?"

Anak kecil itu tampak ragu, namun kemudian dia menganggukkan kepalanya.

Vic tersenyum, kemudian menyerahkan bola ditangannya pada anak kecil itu. "Siapa namamu?"

"Rafael, Aunty." Jawab anak itu dengan antuasias, namun tanpa sadar justru membuat tubuh Vic berubah kaku.

Rafael...

Mengapa nama anak kecil ini sama dengan pria dominan itu? Vic segera menggelengkan kepalanya. Menepis jauh-jauh pemikiran konyol itu. Tentu saja nama anak itu Rafael. Tidak ada yang salah dengan nama itu dan tidak sedikit juga orang-orang memiliki nama itu. Vic kembali menggeleng, berusaha untuk menjernihkan pikirannya kembali.

"Aunty kenapa? Apakah Aunty sakit?" tanya anak kecil itu dengan wajah polosnya.

Vic tersenyum pada anak itu, kemudian mengelus puncak kepalanya. "Tidak. Aunty sangat sehat."

"Lalu, apakah Aunty jadi bermain bola bersamaku?"

Vic menganggukkan kepalanya lalu berdiri. "Ayo!"

👔👔👔

Rafael's penthouse. Paris—Perancis. 09:25 PM

Victoria menatap gedung penthouse—tempat Rafael dan dirinya tinggal—dengan perasaan cemas

Rất tiếc! Hình ảnh này không tuân theo hướng dẫn nội dung. Để tiếp tục đăng tải, vui lòng xóa hoặc tải lên một hình ảnh khác.

Victoria menatap gedung penthousetempat Rafael dan dirinya tinggaldengan perasaan cemas. Bagaimana tidak? Victoria masih mengingat dengan jelas bagaimana suara dingin pria itu, bagaimana ekspresi pria itu sebelum dirinya pergi. Tanpa sadar Vic menelan ludah dan tangannya gemetar. Bagaimana nasibnya nanti saat bertemu dengan pria itu?

Vic menghembuskan napas pasrah. Dia tidak boleh lemah seperti ini. Sekeras-kerasnya pria itu, Vic yakin jika Rafael tidak akan sampai main tangan, mengingat pria itu pernah memeluknya untuk sekedar menenangkan. Bahkan, pria itu terlihat khawatir saat Vic memilih untuk tinggal di flat itu. Well, sejujurnya pendapat pria itu benar jika daerah di sana cukup rawan. Akan tetapi, biaya sewa di sana justru yang paling murah dibanding flat lainnya.

Mengingat itu semua membuat Vic merindukan rumah lamanya di New York. Namun, kini rumah itu sudah bukan lagi milik mereka karena telah disita. Sungguh menyedihkan...

Dengan penuh tekad, Vic melangkahkan kakinya untuk memasuki gedung penthouse itu.

Ting!

Pintu lift terbuka tepat di lantai paling atas.

Vic mengerutkan keningnya saat penthouse tampak kosong. Apa mungkin Rafael pergi?

"Rafael..." panggil Vic memberanikan diri, tetapi tidak ada sahutan apapun.

Dia melangkah menuju pintu kamar Rafael dan membukanya sedikit.

Kosong...

Sepertinya pria itu benar-benar pergi. Padahal saat didalam lift, dia telah mempersiapkan kata-kata saat berhadapan dengan pria itu. Namun nyatanya, pria itu tidak ada sekarang. Vic memekik girang dan berlari menuju kamarnya. Sebaiknya dia tidur agar pria itu tidak dapat menginterogasi dirinya.

TBC

______________________________________

Don't forget to vote and share this story.

Kalian juga boleh follow akun aku, supaya gak ketinggalan update-anya. Karena ada beberapa orang yang ketika update, gak masuk ke notif-nya. So, aku selalu ngasih kabar setiap update, supaya kalian tidak ketinggalan.

But, semua tergantung kalian juga sih, mau follow atau gak. Mau kalian follow sekarang dan ketika SnT tamat kalian langsung unfollow, it's okay.

Tidak ada unsur paksaan apapun, ya. Hanya sekedar memberi saran bagi yang selalu ketinggalan karena notif tidak masuk.

Thanks for reading this chapter. Hope you like it 💕

See you...

Suit and Tie | ✅Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ