Babak Dua: Rasa Sakit

Mulai dari awal
                                    

Ryan terkikih, "Tidak masalah." Balasnya. "Hey, aku ingin ke lapangan dulu. Joey menungguku. Tidak masalah kalau kau berjalan sendiri?"

"Aku sudah sering melakukannya, jadi tidak masalah." Jelasku.

"Baiklah... sampai ketemu di jam istirahat." Balasnya dan dia mencium pipiku sebelum kabur.

Duar.

Seakan aku hidup dalam telenovela, itu sound effect yang pantas ditambahkan setelah kejadian tadi. Beberapa wanita melihatku dengan tatapan kaget dan aku pun juga kaget Ryan melakukan itu. Dia benar-benar ingin membunuhku perlahan. Aku sudah merasakan tatapan mata perempuan seakan menyekik leherku dengan kuat. Aku berjalan dengan cepat, bergabung dengan arus para siswa dan siswi masuk ke dalam gedung sekolah. Aku tak tahu apa yang terjadi atau yang sedang terjadi di lingkungan masyarakat sekolah ini, tetapi yang jelas seluruh orang kini melihatku seperti manusia gua yang baru saja pertama kali melihat peradaban modern. Mereka melirikku dan membisik atau terkadang sekedar melihatku sambil berjalan dan tak mengalihkan pandangan mereka walau aku melihat mereka dan mengadakan lomba tatap mentatap dadakan yang hanya berlangsung beberapa detik saja.

Aku mempercepat langkahku ketika melalui koridor sekolah, karena perasaan ini tidak begitu nyaman— kalian merasa seperti tikus kecil mungil dan lucu yang hendak di mangsa oleh banyak predator, termasuk para hewan yang sudah berkomitmen pada Tuhan bahwa seumur hidup mereka hanya akan menjadi hewan herbivora.

Aku mendorong pintu kelasku dan seketika seluruh anak-anak terdiam melihatku dengan aneh, hanya saja mereka lebih mementingkan urusan mereka dan akhirnya kelas kembali ramai dengan celotehan atau gosip-gosip yang mungkin juga serta-menyertakan namaku di dalam subjek pembicaraan debat mereka walaupun aku tak tahu penyebabnya apa. Ini sudah lebih dari seminggu aku menjadi bagian masyarakat rimba sekolah ini dan rasanya masih tak berbeda seperti hari pertama aku sekolah. Aku duduk di samping Olivia yang sedang menulis sesuatu di bukunya. Dia sempat melihatku dan tertawa lalu kembali menulis.

"Okay, apa ada yang salah denganku? Apa tiba-tiba ada tanda lahir yang memalukan menutupi sebagian wajahku?" Tanyaku kesal. Kemudian aku melihat sekeliling kelas. "Liv, ini gila! Semua orang melihatku dengan aneh dan aku tak tahu apa penyebabnya! Apa aku dalam masalah."

Olivia melihatku. "Big trouble."

"Oh my god... . Aku bersumpah jika tentang aku tak sengaja mematahkan keran air di hari pertamaku sekolah—aku tak sengaja melakukannya!"

"What!? No... Devonna... ." Olivia tertawa. "Tapi ternyata itu kau yang mematahkan keran air?" Lanjutnya dan dia tertawa.

Aku menaikkan kedua alisku dan segera menutup mulut Olivia dengan sangat cepat. "Hey... sudah aku bilang itu tak sengaja and please... you're so loud... ." Jelasku kemudian melepaskan tanganku dari mulutnya.

"Okay, jadi kau benar-benar tidak mengerti kenapa semua anak-anak melihatmu aneh?" Tanya dia.

"No... bisa kau jelaskan?"

"They know... ."

"They know???" Aku merengitkan dahiku dan mengulang kata itu beberapa kali sehingga kedua alisku terangkat, mulut dan mataku terbuka lebar. "Aku dan Ryan?! Oh my god... this is bad... . Tapi kami baru jadian kemarin. Bagaimana kabar bisa menyebar?!" Aku meletakan kepalaku di atas meja dan menutupnya dengan kedua tanganku. "Olivia, aku akan dengan segera membuat surat wasiat secepat mungkin. Ini akhir dari Lawrance yang tak di anggap. Bilang ayahku... aku mencintainya dan aku juga berhutang doritos kepada anak murid lain yang tak aku tahu namanya —jadi aku berusaha mati-matian juga menghindar darinya."

"Kau benar-benar menyedihkan Devonna." Kikih Olivia.

"Sangat menyedihkan dan kenapa hal yang sangat rahasia melebihi dokumen negara dapat tersebar dengan cepat?"

Why Don't We? [alternative version NKOTS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang