33. Tempramen

Mulai dari awal
                                    

“Serius nyebelin.”

“Iya serius aku nyebelin.”

“Tau ah sini in yupinya.”

“Cie nggak ngambek lagi.”

“Hmmm. Kamu ada masalah yang kamu pikirin, Na?”

“Kenapa kamu ngomong gitu?”

“Nggak biasa aja kamu bengong kaya gitu.”

“Hmm. Masalah kerjaan aja, Ta.”

“Kamu kenapa sih nggak lanjut S2 aja?”

“Capek belajar, pengen terjun ke masyarakat. Ke dunia yang nyata. Cuma ternyata dunia yang nyata itu kejam.”

“Hahaha. Pasti berhubungan sama masalah tadi ya. Masalah apa sih? Cerita sini.” Dia menepuk nepuk kepalaku seperti anak kecil. Entah mengapa itu membuatku sangat nyaman.

Namun, sebelum aku sempat bercerita tentang masalahku di kantor, kereta api argo parahyangan memelan dan akhirnya berhenti di tempat tujuannya.

Stasiun Kota Bandung memiliki interior yang menentramkan, hangat menyambut di udara dingin pukul setengah sebelas malam. Hadi, teman Khata telah menunggu kami di depan pintu keluar stasiun. Dari namanya aku pikir Hadi adalah seorang laki-laki tapi ternyata dia adalah seorang perempuan yang cukup feminim. Hadi dan Khata, layaknya dua orang yang tak bertemu mereka berpelukan. Hadi yang memeluk duluan, Khata menyambut dengan gemetar yang tak kentara. Kami kemudian di antar Hadi ke mobil merah miliknya.

“Ari maneh kumaha?” (Apa kabarmu?) Hadi bertanya menoleh pada Khata yang duduk di sebelahnya.

“Nu maneh tingali ayena, urang sae.” (Seperti yang kamu lihat sekarang, aku baik) Aku tersentak kecil. Khata bisa bahasa sunda? Setelah setahun lebih mengenalnya, tetap saja dia bisa membuatku kagum.

“Maneh teu hilap geuning kanu basa sunda” (Kamu nggak lupa ternyata sama bahasa sunda)

“Sedikit-sedikit, Di. Sudah agak lupa. Nanti ajarin lagi ya.” Khata kemudian tersnyum ke Hadi. Entahlah, dia selalu saja dapat memukauku.

Setelah dua puluh menit berada di dalam mobil Hadi, kami sampai ke tempat penginapan. Tempat penginapan ini memiliki dekorasi tradisional yang indah. Namun, baik kamar mandi dan kamar tidur memiliki perlengkapan modern. Dua tempat tidur berada di ruangan yang cukup luas. Aku sedikit kecewa tidak dapat satu tempat tidur saja dengan Khata.

“Mau di satuin aja?”

“Mau!” Dia seperti membaca pikiranku. Akhirnya kami berdua menyingkirkan meja yang berada di tengah dan menyatukan dua tempat tidur tersebut. Setelah Khata dan aku bergantian mandi, kami berbincang mengenai Hadi. Namun, karena aku sangat capai hari ini, tak terasa aku terlelap duluan.

Tidurku tidak lelap, entah mengapa. Aku terbangun dan mendengar suara Khata sedang meniti ayat-ayat Al Quran. Aku tak asing, selama sekolah dasar, aku memang mengikuti pelajaran agama Kristen, sekolah minggu pun aku ikuti. Namun, setiap sore, aku disodorkan les privat mengaji dengan aturan yang hampir sama dengan Madrasah Ibtidaiyah. Aku mengenal dua agama tersebut dengan baik, namun karena hal itu pula, agama untukku sama seperti mata pelajaran lain. Tidak ada sangkut paut batin yang tertaut pada Tuhan.

Lantunannya indah menenangkan, seperti sang pelantun yang cantik berbalut mukenah putih. Ia membaca dengan anggunnya, tetesan air matanya terkadang dia hapus, dan entah mengapa itu menggugah diriku. Mengapa bisa ia membaca Al Quran hingga menangis? Buatku, ketika aku membaca Al Quran, aku hanya seperti membaca buku lain, sama juga ketika aku membaca bible. Aku memiliki dua kitab itu di rumah, namun semenjak aku lepas dari mata kuliah agama di tahun pertama, aku sama sekali tak pernah memegangnya.

Magic In YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang