31. Doa yang terjawab

Start from the beginning
                                    

“Kenapa hm?”

Khata mencoba menarik bantalku. Mataku kemudian bertemu matanya. Mata cokelat milik Khata. Sejenak aku memperhatikannya. Oh Tuhan dia sungguh cantik ... dan sexy! Keringat hasil lari pagi dia itu masih mengucur dari keningnya, melewati pipi kemudian leher kemudian masuk ke dalam jaket parasut nike nya. Rambutnya yang ia kuncir di belakang itu membuatku dapat melihat leher jenjangnya yang ... sexy.

Aku kalut.

Jantungku makin berdetak cepat. Mataku memperhatikan setiap detail mukanya dan terhenti pada bibirnya. Bibir itu tadi menciumku.

Aku ingin meledak.

“Hei, Na, mukamu merah banget!” Tangan Khata mendarat di keningku. Aku langsung memalingkan mukaku, membalikan badan ke arah tempat tidur.

“Kamu panas banget, Na. Semalem kena ujan ya pasti? Demam kan jadinya!” Dasar Khata bodoh. Ini bukan karena hujan, ini karena kamu!

Go away! Aku mau lanjut tidur” Kataku mencoba senormal mungkin, padahal dalam dadaku rasanya benar-benar ingin meledak.

“Eh, ya jangan tidur di lantai dong. Naik ke atas tempat tidur.”

“Hmm.” Aku menurutinya untuk naik ke atas tempat tidur kembali.

“Bentar ya Na, aku ambil bye bye fever dulu!” Khata menuruni tangga sambil berteriak.

“Aku bukan bayi! Nanti juga sembuh” Sautku berteriak juga.

“Yakin bukan bayi? Aku rasa cuma bayi yang punya kulit sehalus itu!” Aku tidak menjawab. Untung saja kulit ini tidak bisa meleleh. Khata semakin membuatku merona!

“Panas banget gitu! Kamu nggak usah kerja ya, Na. Ijin sakit aja.” Katanya setelah memegang keningku dari belakang. Jelas panas, bodoh, kamu yang membuatku semakin panas!

“Hadap sini. Biar aku tempelin bye bye fevernya di kening kamu.”

“Hmmm.”

“Hadap sini kok.”

“Gamau!” Tiba-tiba saja dia melompat ke tempat tidur di area depanku, membuatku sangat kaget.

“Dasar kelinci!”

“Hah?”

“Hmm.”

“Kelinci apa?”

“Kamu. Lompat-lompat kaya kelinci!”

“Emang manusia nggak bisa lompat?”

“Terserah ah!” Aku hendak membalikkan badanku, namun tangan Khata menahanku.

“Bentar, aku tempelin dulu.”
Aku menurut. Daripada semakin lama dia membuat pipiku merona pikirku.

“Dah! Aku masakin cream soup dulu.” Dia segera berlari ke bawah setelah memasang bye bye fever di keningku.

Kutempelkan tanganku ke dada, tepat diatas jantung. Astaga. Berdetaklah normal, jantung.

“Na, makan dulu ayo.”

“Hmmm.”

“Buka mata. Makan. Biar cepet sehat.”

Aku membuka mata, kemudian menguap dan langsung ia sendokan satu sendok cream soup hangat ke dalam mulutku. Aku menelannya dengan terkejut.

“Aku bisa makan sendiri!”

“Gamau aku suapin?”

“Nggak!” Lalu sendokan kedua masuk tepat ketika aku berbicara. Aku memukul lengannya pelan dan kemudian menyerah.  Membiarkannya menyuapiku.

“Pak Purno tadi pagi ijin pulang. Niatnya tadi sih aku aja yang antar kamu ke kantor. Beliaunya mau balik ke sini habis anterin anaknya sekolah, tapi kan kasian. Mondar mandir.” Aku mengangguk mengiyakan saja perkataanya.

“Eh, makasih kado nya. Aku udah buka. Pas banget tadi aku udah coba. Kok kamu tau aku pingin sepatu itu?”

“Waktu si temennya Anka jenguk pake sepatu itu. Mulut kamu sampe menganga lebar sampe-sampe liur nya keluar.” Aku tersenyum mengingat mukanya yang jelas-jelas mupeng menginginkan sepatu nike dengan model wedges sneakers itu.

“Ngaco! Nggak segitunya!”

“Tapi serius muka kamu tuh kayak anak kecil pengen cokelat. Hahaha” Suara perut Khata kemudian terdengar meraung-raung. Aku mengambil sendok yang dia pegang kemudian menyuapi cream soup itu ke mulutnya.

“Hmm. Makasih pokoknya, aku tau itu nggak murah, Na.”

“Anggap aja traktiran gaji pertama.” Suara perut Khata terdengar lagi. Sepertinya dia sangat lapar.

“Oh ya, bocoran dong, kamu dapet gaji berapa sebulan?”

“Standar kok. Tiga ka...”

BROOOOOOOOT

“KHATA!” Aku langsung mengambil bantal dan menutupi hidungku.

“Sori, Na. lagi..”

BROOOT

“Gaenak perutku.” Teriak Khata sambil berlari ke kamar mandi dengan mengibas-ngibaskan udara di belakang pantatnya.

“KHATA BAU BANGEEEET! ASTAGA” Uh! Cantik-cantik kentutnya ngalahin bau sampah!

“MAAF, NAAA!” Teriak dia dalam kamar mandi.

Aduh buset baunya makin parah. Aku butuh udara segar! Aku berlari ke jendela, mebuka seluruh jendela yang ada di ruangan itu. Bahkan ini tak membantu banyak.

Khata keluar dari kamar mandi dengan memegang perutnya dan melihatku dengan senyum tiga jari di bibirnya. Aku segera memicingkan mata memprotes bau tak sedap itu.

“Makan apa kamu semalem?”

Khata menutup kembali pintu kamar mandi. Tak lama dia keluar kamar mandi lagi. Terseyum tanpa dosa ke arahku.

“Sambel goreng jengkol ... sama jus duren. Hehehe”

“Parah! Kira-kira kek kalo makan. Pikirin hasil buangnya juga! Bau banget tau”

“Iya. Iya sori. Aku gak kuat makan pedes kemarin, terus adanya cuma jus duren”

“Kalo ga kuat makan pedes ya jangan dimakan dong!” Aku kemudian turun ke lantai bawah dan duduk di sofa putih  dan menyalakan TV. Bau gas dia masih berasa di lantai atas. Dan tentu saja, aku sudah tidak berselera makan.

Khata kemudian mengikuti ku ke bawah dan duduk di sebelahku.

“Hehehe. Maaf dong Na. Kan aku gak tau jadinya gini. Keluar tanpa kendali.”

“Parah. PARAH! Sana jauh-jauh! BAU TAU!” Bukannya menjauh, Khata malah memelukku. Aku meronta-ronta agar ia melepaskan pelukannya itu. Tenaga dia lebih kuat dariku tentu saja, aku tak dapat melepaskan pelukannya.

Dia terus memelukku meski aku tidak meronta. Entah kenapa dia juga terdiam tanpa sepatah kata pun. Aku dapat merasakan hembusan nafasnya di pundakku. Dia menempelkan hidungnya di pundakku.

“Makasih ya, Na.”

“Hm?”

“Semalam.”

“Nggak usah terima kasih. Aku senang bisa denger semuanya dari kamu. Aku senang kamu percaya sama aku. Aku yang makasih bisa dapat kehormatan bisa dengar semua yang orang lain nggak tau.”

“Hmm. Kalo gitu aku harus banyak berterima kasih ke Tuhan.”

“Atas?”

“Karena sudah mempertemukan aku dengan Kirana Wijaya.”

“Kamu jawaban atas doa yang dulu sempat aku panjatkan setiap hari, yang kemudian berhenti karena putus asa dan hanya menerima yang ada.”

“Aku bertemu kamu ketika tak berharap lagi akan istirahat dalam hidup.”

“Sebuah nyaman diantara tumpukan duri.”

“Sepercik kehangatan diantara badai.”

“Aku bahagia, sangat bahagia, Na. Janji ya kita terus sama-sama?”

Magic In YouWhere stories live. Discover now