27. He'll Be Okay

Mulai dari awal
                                    

“Nggak usah gitu.” Aku yang awalnya mau mengangkat tangan Anka untuk kurangkulkan di pundakku akhirnya mengurungkan niat. Kebingungan melanda diriku, Anka bersikap sangat aneh sejak tadi. Aku datang dia cuek sekali, sekarang minta bantu ke toilet tapi tidak mau dipapah.

“Terus gimana?”

“Bawain infusnya aja.” Dengan perlahan Anka berjalan ke kamar mandi, diikuti aku yang mendorong tiang infusnya. Kamar mandi yang cukup luas itu, dilengkapi dengan handrailing berwarna kuning yang ada di sekitar shower dan toilet. Anka sudah berdiri di depan toilet ketika aku menyandar di handrailing. Beberapa detik berlalu dan aku sadar Anka sedari tadi diam saja. Aku menoleh memandang Anka.

“Mbak mau ngapain? Keluar.”

“Ha? Eh? Iya aku keluar.” Sial aku malu diusir sama adik sendiri dari toilet. Dari dulu biasanya juga aku nemanin dia di toilet sampai dia kelar pipis kalo sedang sakit gini. Apa karena dia sudah jarang bertemu aku lagi dan merasa canggung? Apa dia tumbuh kelewat cepat ketika aku berada di Depok? Sial.

Kirana yang mendengar perkataan Anka diam-diam tertawa. Aku menaruh pantat di sofa sebelah dia dengan kesal.

“Eror banget sih Ta. Masa mau ngintip punya adek sendiri.”

“Nggak eror, biasanya Anka minta temenin sampe dia kelar pipis. Lagipula apa deh yang dia tutupin, aku kakaknya, Na. Orang semuanya dari dulu juga aku yang ngurusin dia. Dia manja banget tau, Na. Nggak biasanya dia kayak gini. Bentuk protes dari Anka karena aku jarang pulang ke Surabaya? Nggak mungkin, dia nggak se sarkastik ini. Kalo dia kesal sama aku pasti bilang terus terang.” Aku sedikit berbisik dengan suara rendah, takut Anka mendengar perkataanku.

“Hmm, ya dia udah mulai gede kali Ta. Jadi udah mulai malu sama kamu.”

“Mungkin juga.” Kalo ini artinya dia udah mulai mandiri sih bagus kalo gitu.

“Mbak Taaaa.” Anka berteriak memanggilku dari toilet.

“Iya. Ayo” Aku mendorong tiang infusnya dia kembali setelah dia selesai cuci tangan. Dengan perlahan dia sampai ke tempat tidur, memakai selimut kembali dengan benar. Aku kemudian duduk di samping tempat tidurnya.

Anka kemudian memperhatikanku dengan seksama. Merasa aneh, aku balas memperhatikannya. Dagunya yang semenjak setahun terakhir ini sudah mulai ditumbuhi kumis tipis itu belum tercukur. Aku mulai melihat adanya jakun di tenggorokannya. Mata miliknya itu lebih indah dari milikku. Dia memiliki mata mama kalau nenek bilang. Mirisnya, aku tak ingat mata itu. Ketika melihat mata Anka, aku hanya melihat mata adikku tersayang.

Lekukkan garis tulang rahangnya sangat mirip denganku. Secara garis besar, dia dapat digolongkan sebagai cowok ganteng. Sudah ganteng, baik pula. Kalau dia tidak terlalu menarik diri karena kemampuan interaksinya plus keautisannya itu mungkin dia sudah jadi cowok idaman banyak cewek. Namun aku tahu pasti, dia lebih suka bermain dengan binatang ketimbang harus berhadapan dengan orang.

Setahun lagi dia akan mulai kuliah, dan aku tahu pasti apa yang dia inginkan. Obsesi yang membuatku harus ke kebun binatang setiap bulannya menemani dia itu selalu terbawa. Bagi dia, dikelilingi oleh hewan adalah sebuah ketenangan. Senyum bahagia yang selalu aku lihat ketika dia bersama mereka adalah kebahagian untukku. Karena bagiku, bahagia yang ia rasakan merupakan bahagia terbesarku. Aku lebih bersyukur bila aku lah yang Allah berikan kesedihan daripada Anka.

“Mbak Ta makin cantik ya?” Aku baru sadar kini, suaranya juga semakin berat, tidak seperti dulu yang sangat cempreng.

“Hm? Kamu juga makin ganteng aja dek. Gimana sekolah?”

“Gitu aja, bosen.” Hahaha, aku tertawa dalam hatiku. Dia memang sangat pintar, pantas kalau dia kurang merasa tertantang.

“Hm, apa kabar si Felicia?”

Magic In YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang