25. Mencintai Sangat Dalam

Mulai dari awal
                                    

“Nak Kirana, terima kasih ya sudah mau ke Surabaya sama Tata. Gimana Tata di sana? Sebenarnya dia punya teman nggak sih nak? Dia pasti banyak merepotkan nak Kirana ya.”

“Ah, nggak kok kek, malah saya yang justru banyak merepotkan Khata. Khata punya banyak teman. Dia mudah sekali bergaul, malah saya pikir semua orang temannya.”

“Iya memang dia sangat mudah beradaptasi nak, tapi dia jarang sekali terbuka sama orang bahkan pada kami soal bagaimana perasaan dia. Tata selalu menampakkan bahwa dia kuat. Kami berdua tau sebenernya tidak seperti itu. Tapi kami bisa apa, sebisa mungkin hanya mencoba menanyakan bagaimana harinya.” Wow, aku pikir Khata menceritakan banyak hal pada Ara atau paling tidak dia nempel sekali sama kakek dan neneknya. Aku tidak menyangka ini.

“Kami juga belum pernah melihat Tata bisa sampai percaya seseorang untuk berkenalan dengan Anka. Tata terlalu menjaga Anka, takut mereka yang berkenalan akan mencemooh.” Nenek Khata menambahkan pernyataan suaminya.

“Hmm, maaf kalo boleh saya tau, Anka sebenarnya kenapa ya?”

Kakek Khata kemudian merangkul sang Nenek. Tangan keriputnya memegang lengan istrinya tersebut dengan mengelus pelan. Seperti sedang menahan perih, ragu-ragu sang kakek menoleh ke sampingnya. Istrinya itu hanya menjawab dengan tatapan. Mereka berdua sangat terlihat mesra, seperti telah memahami satu sama lain tanpa kata-kata. Walaupun di mata kelabu mereka berdua, terdapat kabut kesedihan yang dapat aku reka.

Bibir lelaki itu terlihat bergetar. Seperti ragu akan apa yang akan dia beritahukan padaku. Kakek Khata menyelipkan senyum, dan kemudian dengan ringan mengatakan padaku bahwa Anka adalah anak yang berada di dalam spektrum autis. Dari nada ringan yang dia berikan pada kalimatnya, aku dapat menebak dia sudah sangat sering diberi pertanyaan seperti yang aku lontarkan. Aku ingin segera menanyakan berbagai pertanyaan kembali padanya, namun Khata sudah keluar dari kamar Anka dan bergabung dengan kami.

Kakek Khata kemudian menyuruhnya pulang bersamaku untuk dapat beristirahat. Aku menggapai tangan Khata untuk membantuku bangkit dari tempat duduk dan tersenyum pada kakek dan nenek Khata sembari berjalan ke arah lift. Khata diam selama perjalanan ke arah mobilnya.

“Kamu laper?” Itu adalah kalimat pertamanya selama lima belas menit aku berada di sampingnya.

“Nggak kok.” Aku berbohong sedikit enggan untuk berbicara jujur bahwa perutku sudah meminta diisi makanan. Ya, perutku sudah berbunyi seperti pipa bocor yang airnya mengalir tak berhenti juga semenjak lima menit yang lalu. Bukan karena perut yang tak beres, hanya lapar.

“Yaudah kita ke mampir ke fast food deket rumahku ya?” Fast food? Selama aku bersama Khata, dia sangat jarang memakan makanan sampah itu. Dia satu-satunya remaja yang aku tahu yang menjaga makanannya seperti mereka yang berumur lebih tua dengan berbagai pantangan makanan karena penyakit. Khata selalu menjaga kesehatannya dengan baik, kecuali keadaan memang sangat memaksa dan membuat dia frustasi. Aku sudah hafal kebiasaanya selama ini. Dia pasti merasa bersalah dan terlalu memikirkan masalah soal Anka tadi.

Aku tidak tahu dari mana dia tahu aku lapar, tapi dia sungguh pengertian. Bagaimana aku bisa tidak semakin jatuh cinta padanya setiap hari? Dia sangat gentle, pengertian, perhatian dan aku selalu merasa bebas bila bersama dia. Tunggu, apa jangan-jangan perutku bunyi sangat kencang hingga dia mendengarnya?

“Tau dari mana aku laper?”

“Tuh kan bener kamu laper hahaha.”

“Iiiiiih kamu iiih. Nyebelin tau nggak!”

“Kapan aku nggak nyebelin Einstein, hm?” Aku sedikit lega kini, karena senyum dan keadaan kami sudah kembali seperti normal, tidak seperti tadi yang serba salah.

Magic In YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang