Sepanjang perjalanan Ara tertidur dengan pulas, mungkin kelelahan karena baru sampai. Khata duduk di kursi depan sebelah supir, diam menyegel kata-kata. Aneh, biasanya dia pasti aktif berbicara, bahkan dengan Pak Purno ketika dia pertama kali berkenalan untuk mengantarkan kami ke mall.

Ara benar-benar girang. bahkan ketika aku dan Khata masih turun dari mobil, ia sudah berlarian untuk membeli tiket masuk. Dia sibuk mendekati kera-kera itu, memberi makanan yang diambil cepat oleh para kera dari tangannya.

She love animal.” Khata mengatakan pelan padaku, seperti sedang menyatakan kalau Ara tidak gila, hanya berbagi stengah darahnya dengan mereka.

“Oh, yeah. I can see that. And in the fact, the animal love her too! Tuh lihat monyet-monyet yang ngrubungi dia kaya ketemu sodara lama.” lugasku. Khata tertawa, tapi tidak lagi membalasku. Oke, keadaan berbalik sekarang, aku menjadi si cerewet dan dia jadi si pendiam. Aku menghembuskan nafas pelan, merasa tak nyaman dengan keadaan ini.

Ara seperti tak mau meninggalkan para saudara barunya itu. Dia masih saja dihinggapi para kera bahkan ketika kami sudah mau masuk mobil. Petugas setempat sampai harus memisahkan paksa para kera itu darinya, meninggalkan bekas cakaran di pipinya. Mata Ara tetap berbinar-binar ketika kami sampai di warung bale. Semangatnya itu terus bertahan hingga ia melihat layar ponselnya. Ketika Khata mulai banyak bicara, kini Ara malah menunduk. Ara kemudian ijin untuk pergi ke toilet, dan untuk beberapa lama dia tidak kembali juga.

“Pup kali, Na, si Ara.” Khata menanggapi kecemasanku.

“Tapi ini udah lama banget lho.”

“Panjang umur nih anak. Tuh dia udah dateng tuh.” Khata menunjuk Ara yang berjalan dengan senyum mengembang yang berlebihan, aku bisa tahu dengan mudah dia merekayasa senyum itu. Matanya kini memiliki lingkaran hitam dibawahnya, tanda dia habis menangis. Aku dapat mengetahui Khata juga merasakan demikian, karena dia langsung menyeret Ara pergi menjauh dari keramaian. Aku tetap bisa melihat mereka berdua dari tempatku duduk, Ara seperti sedang menceritakan sesuatu dengan tangan bergetar yang masih memegang ponsel. Dia berkali-kali menyeka air mata yang berhasil keluar dari matanya hingga Khata memeluknya. Ara menangis sejadi-jadinya, dan tubuh Khata bergetar seperti ketika dia memelukku dulu. Sadar akan hal itu, Ara segera melepaskan pelukannya dan kembali menyeka kedua matanya. mereka masih berdiri diam tanpa berkata-kata, sampai kedua tangan Khata berada di kedua sisi wajah Ara dan mengangkatnya. Dia kemudian segera melepaskan tangannya dan meraih lengan Ara. Khata kemudian memandang tangan kiri Ara, berbicara lagi padanya kemudian pergi meninggalakan Ara menuju parkiran mobil dengan muka kesal dan tangan gemetar.

Aku merasa itu petunjukku untuk segera membayar makanan dan minuman kami. Segera setelah aku membayar di kasir, aku menghampiri Ara yang masih berdiri diam di tempatnya tadi. Pandangannya ke bawah, melihat tanah seperti sedang berpikir. Tanpa berkata-kata aku meletakkan tanganku di belakang punggungnya dan menuntunnya ke arah mobil.

Ara masih menangis sesenggukan ketika di mobil. Aku merentangkan lengan kiriku untuk memeluknya dari belakang dan membiarkan kepalanya menyandar di bahuku, tak butuh waktu lama dia pun tertidur. Aku melihat tangan kirinya dengan posisi telapak menghadap ke atas, ada bekas-bekas luka di lengan bawahnya, mendekati pergelangan. Ara seorang pecandu? Tapi tak ada tanda-tanda dia seorang pecandu. Memang aku baru mengenalnya, tapi di kampusku banyak anak yang seorang pemakai, dan lama-kelamaan aku menjadi terbiasa dan mengetahui banyak ciri-ciri mereka.
Melihat tangan Ara membuatku ingat seluruh adegan tadi. Khata memeluknya, menyentuhnya! Ya, meski pun aku tahu reaksi badan dan tangannya gemetar, tapi entah rasanya tidak enak melihatnya seperti itu. Mereka berdua jelas sangat dekat sampai Khata mau menyentuh dengan kulitnya. Tapi lalu kenapa Khata marah pada Ara?

Magic In YouWhere stories live. Discover now