Babak Dua: Nama dia Joey Alexander

Mulai dari awal
                                    

Pintu yang terkunci di depan kami akhirnya terbuka. Indra menarik gagang pintu dan mendorong pintu tersebut ke dalam. Seketika pemandangan bagian dalam dormk-u terbentang layaknya pemandangan indah—seperti panama tetapi tutunkan ekspetasimu sebanyak sembilan puluh persen. Dorm ini terlihat sama menyedihkannya dengan ruangan kepala sekolah yang suram.

"Selamat datang di dorm milikmu." Ucap Indra dengan semangat sembari melihatku.

Aku melangkahkan kakiku masuk ke dalam rumahku—secara harfiah. Seluruh barang-barangku masih terkemas rapih di dalam kardus-kardus yang memenuhi ruang televisi. Aku berjalan mendekati salah satu kardus yang di sebelahnya tersandar sebuah frame foto persegi panjang menyender di kardus tersebut. Aku bertekuk lutut di depan frame tersebut dan menyentuh permukaan kaca dengan jemari tanganku perlahan. Mataku melihat senyuman besar yang indah di dalam sana dan jari telunjukku bergerak mengikuti lekukan senyum di bibir yang terbalut oleh lipstick warna merah muda itu.

"Jika tidak ada sesuatu lagi, aku harus pergi. Kebetulan aku harus mengikuti rapat." Jelas Indra di belakangku.

Aku menoleh dan mengangguk. Indra tersenyum kemudian dia menutup pintu di belakangku. Kini hanya tinggal aku dan frame foto yang terukir oleh kenangan kelam ini. Aku menarik nafas panjang dan termenung sesaat memikirkan fakta bahwa aku tak punya cukup banyak foto untuk mengingatkanku akan kenangan manis yang mungkin pernah terjadi di hidupku bersama orang tuaku—terutama ibuku. Aku bahkan tak ingin berdiri di depan lensa lagi semenjak aku bertumbuh dewasa, hidupku dihabiskan dengan segala kesedihan yang bisa kau bayangkan dan mungkin pada akhirnya aku meninggalkan dunia ini dengan kesedihan juga.

"Mom... sepertinya aku mempunyai banyak tugas yang menungguku sekarang. Aku akan bertemu lagi denganmu dan menggantungmu di sudut terbaik di dorm baruku. Ya jangan menyesal, dorm ini memang tidak apa-apanya dibanding rumah ayah." Jelasku lalu aku melihat wajahnya. "Ya... aku tahu, ayah yang pasti membawamu ke sini."

—oOo—

Sudahlah...

Ini memang bagian kehidupan yang terburuk yang pernah aku alami di hidupku.

Selamat pagi untuk seorang Devonna Lawrance sebatang kara dan juga untuk bangunan megah sekolah dari luar jendela kamarku. Mungkin aku satu-satunya orang pertama yang bangun sepagi ini. Sekarang pukul empat dini hari, sebenarnya ini adalah waktu yang aneh bagi orang Amerika terutama untuk sebagian kulit putih memulai aktivitas mereka. Memang, jika dipikir-pikir, sebenarnya diriku bisa memilih bangun seperti orang-orang pada umumnya, tetapi kemudian semua ini melekat pada diriku dan menjadi kebiasaan.

Tetapi aku merasa beruntung karena dapat bangun sepagi ini, mungkin jika aku telat beberapa jam saja aku bisa menggila karena mengetahui bahwa air di dorm sialan ini tidak berfungsi sama sekali. Aku sedang menyusun skenario percakapanku yang panjang lebar kepada pihak sekolah akan masalah ini. Seluruh keran airku tidak mengeluarkan apapun kecuali debu karat dan juga suara aneh yang biasanya kau dengar ketika memutar keran di rumah tua yang sudah lama tidak mendapatkan jamahan mesra tangan manusia.

Aku terpaksa harus berlari membawa handuk dan ember kecil berisi sabun, sikat gigi dan sampo menyebrangi wilayah dorm-ku menuju gym sekolah—karena kebetulan hanya tempat itu saja yang tidak terkunci. Aku meminjam ruang bilas yang terlalu besar untukku sendiri selama beberapa saat. Setelah selesai, aku mengeringkan tubuhku dengan handuk dan memakai seluruh pakianku. Celana jeans, t-shirt yang terbuat dari cotton tipis dan juga jaket—tak lupa dengan dua sepatu yang melindungi kaki mungil ini. Aku berjalan keluar dengan rambut yang terbalut oleh handuk putihku.

Why Don't We? [alternative version NKOTS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang