Bab 38

12.5K 626 40
                                    

“Aya, gue tanya sekali lagi. Tangan lo kenapa?”

Gadis itu segera menurunkan tangannya yang sedaritadi ada di meja.

Ini bukanlah kali pertama dia ditanya seperti itu oleh sahabatnya. Sekeras apapun dia tanyai hal itu, sekeras itu juga Ralaya bungkam.

Tentu dia takkan mau jujur, apapun yang terjadi.

“Gue rasanya udah terlalu sering liat tangan lo kayak gitu.”

“Iya, Nami juga aneh. Masa iya kegores tapi berkali-kali?”

“Dan gue ngeliat ada goresan yang masih baru,” sambung Tara dengan serius.

Iris hitam Ralaya berlarian, menolak menatap Tara, Mia dan Namira yang sibuk mengintrogasinya.

Bahkan Namira, sahabatnya yang naif ini terlihat menatapnya penuh selidik.

Ralaya akui, sahabatnya ini memang cukup keras kepala karena selalu menanyakan hal ini secara berulang tanpa lelah.

“Serius, cuma luka gores,” jawab gadis itu sambil memalingkan wajahnya. Tidak salah juga kan jawabannya? Hanya saja luka goresnya memang dilakukan sengaja.

Tara duduk di meja Ralaya sambil menyilangkan tangannya di dada, yang entah kenapa dia jadi merasa kalau suasana kelas yang cukup ramai ini malah berubah menjadi tegang.

Namira dan Mia pun menarik kursi agar semakin dekat dengannya.

Lidah Ralaya terasa kelu hingga rasanya dia tidak bisa berkata apa-apa. Rasanya dia seperti terkepung hingga tak bisa lari.

“Kita sahabatan, kan? Ah enggak, bahkan menurut gue pribadi, kita tuh kayak—hm gimana gue jelasinnya, ya,” ucap Mia sambil menaruh telunjuk di keningnya mencoba mencari kata-kata yang pas untuk menggambarkan sesuatu diantara mereka. “Yah seperti yang lo tau, kita tuh partner gibah, partner karaokean gajelas kalo lagi jamkos, partner ngantin, partner yang dimana kalo lagi bete sama pelajaran, kita langsung lari ke grup chat, bikin dunia kita sendiri disana. Tapi menurut gue, kita tuh gak sesederhana itu.”

Tara lalu menatap Ralaya. Ternyata gadis itu tengah merunduk sambil menutup tangannya yang dihiasi goresan. “Apa cuma kita doang yang ngerasa kayak gitu? Apa jangan-jangan lo cuma anggap kita sebatas teman sekolah?”

Namira mengangguk setuju. “Nami bahkan lupa kapan terakhir kita hangout bareng. Udah lama banget.”

Ralaya meringis mendengarnya. Tentu saja dia masih mengingatnya.

Saat itu mereka sehabis dari cafe dan Ralaya berjalan sendiri menuju taman hingga ada seorang pria asing menanyakan alamat dan saat dia akan menjawab, pria itu membekap hidung dan mulutnya hingga tak sadarkan diri dan berakhir dengan tubuhnya yang sudah dijamah oleh Deri.

Andai saja sahabatnya ini tahu—ah tidak, itu bisa jadi masalah besar.

Belum lagi jika nanti anggapan dan penilaian mereka tentang dirinya.

Tentang Ralaya yang sudah kehilangan harga dirinya dengan paksa, dengan cara tidak manusiawi, nampak seperti hewan.

Lagi-lagi perasaan kotor ini kembali muncul, padahal demi melewati fase ini, Dev mati-matian mengatakan kalau dirinya begitu berharga dan pantas dicintai.

Sial, apapun yang telah dia lewati, selalu saja ada Dev didalamnya.

Ternyata Dev memang sehebat itu baginya. Cowok itu seolah bisa membuat Ralaya hidup tapi disaat yang sama, Dev bisa mematikan dirinya kembali.

Ralaya pun memberanikan diri menatap mereka. Menatap sahabatnya.

Thank's udah khawatir sama gue but i'm oke,” kata gadis itu sambil tersenyum seperti biasa. Meyakinkan sang sahabat kalau semuanya baik-baik saja. “Dan tentang hangout, gimana kalo nanti pulang sekolah?”

[I] Ralaya ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang