Bab 26

12.2K 644 14
                                    

Dev membawa gadisnya menuju sebuah bangku kayu dengan meja berbentuk persegi panjang di hadapannya.

Di dekat taman, cukup jauh dari tempat Ralaya dan bundanya tadi mengobrol.

Setelah mereka duduk saling berdampingan, tidak ada yang memulai membuka pembicaraan.

Hanya ada Dev yang sesekali melirik gadisnya yang tengah tersenyum manis menatap ke depan.

Memperhatikan beberapa anak kecil yang tengah bermain perang-perang menggunakan mainan berbahan plastik, dengan selimut berbulu berukuran kecil yang mereka ditalikan di leher dan selimut yang menjuntai menutupi punggung, layaknya jubah kerajaan.

“Lucu banget,” kata gadis itu tiba-tiba dan reflek membuat Dev ikut tersenyum. “Kamu harus sering ajak aku ikut charity, Dev.”

Cowok itu mengangguk meskipun Ralaya tidak melihatnya. “Nanti aku cari info lagi soal charity sama bunda.”

Rasanya tidak menyesal dia menerima ajakan dari bundanya, padahal awalnya Dev sempat akan membiarkan pesan itu.

Dev tahu kalau dibalik ajakan itu, ada niat lain.

Bundanya memang selalu mengajaknya bertemu, tapi Dev selalu menolaknya dengan halus, dengan berbagai alasan yang sebisa mungkin tidak menyakiti hati bundanya.

Tidak hanya bundanya, papanya juga.

Tapi pesan dari papanya hanya sesekali karena beliau sibuk bekerja, beliau tidak sesering bunda dalam mengrim pesan atau telepon, jadi Dev tidak terlalu memikirkan hal itu.

Sejenak, dia merasa bersalah. Sejujurnya dia juga rindu, hanya saja rasa trauma dan egoisnya masih cukup besar padahal ini sudah beberapa tahun sejak kejadian itu terjadi.

Alasan mengapa juga Dev memilih tinggal di apartemen, hidup sendirian sejak dirinya mulai masuk SMA.

Terlalu larut dalam lamunannya hingga tanpa sadar tiba-tiba ada bocah manis yang berdiri disampingnya, membawa sebuah buku gambar dan pensil warna.

“Hallo, kakak ganteng.”

Dev meringis mendengarnya, bocah perempuan disampingnya ini bahkan mengatakannya dengan begitu polos.

Dev tersenyum hangat. “Hallo, nama kamu siapa?”

“Maura,” kata bocah itu sambil tersenyum lebar, menunjukan dua gigi susunya hilang.

Bocah itu berusaha duduk di kursi tapi terlihat kesusahan, terlalu lucu hingga membuat Ralaya tertawa lalu Dev membantu bocah itu duduk disampingnya.

“Makasih,” kata bocah itu lalu membuka buku gambarnya.

“Gambar Maura bagus,” kata Ralaya membuka obrolan begitu melihat halaman awal yang penuh dengan gambar-gambar berbagai warna.

“Beneran?” kata Maura begitu antusias dengan mata yang berbinar tapi detik selanjutnya tatapannya berubah sendu. “Tapi kata Cio, gambar Maura jelek.”

Nope, gambar kamu bagus,” sambung Dev. “Suka gambar kupu-kupu, ya?”

Bocah itu mengangguk. “Suka banget. Sayapnya warna-warni, bisa terbang juga,” kata bocah itu lagi. “Kakak bisa gambarin kupu-kupu buat Maura? Biar nanti Maura yang warnain.”

Dev mendengus geli lalu dia meraih buku gambar Maura, menggambar kupu-kupu berukuran cukup besar disana.

Wajah bocah itu mendekat, terlihat tampak antusias dengan goresan tangan milik Dev sementara Ralaya memilih mengeluarkan ponsel, mengambil gambar Dev dan Maura.

[I] Ralaya ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang