Bab 16

14.3K 677 12
                                    

Aku bagaikan daun gugur yang tidak tahu akan tertiup kemana
Bahkan jika akhirnya aku tertutup hujan atau salju.
Rasa yang tertinggal pun kini sudah habis terbawa angin

•••

Dulu sekali, dunianya begitu indah penuh warna. Sangat menyenangkan. Masa kecilnya penuh dengan tawa bahagia, pelukan hangat dan jejeran boneka dengan bulu yang lembut yang memenuhi kamar bernuansa baby pink-nya.

Tapi perlahan warna itu pudar. Berubah menjadi abu-abu. Tawa dan pelukan hangat ikut memudar. Semuanya mulai berubah. Rasanya seperti dunianya sudah hancur.

Dia pikir, kejadian itu yang akan jadi momen terpahitnya. Tapi nyatanya tidak.

Warna yang semula abu-abu, berubah menjadi hitam pekat. Sangat gelap, mengerikan dan sendirian.

Masa remajanya penuh dengan ironi. Mirisnya, kini untuk pertama kalinya sepanjang eksistensi hidupnya di dunia, Ralaya merasa sudah kehilangan arah.

Dia sudah sampai diambang batasnya.

Apa semesta memang tidak suka melihat dirinya bahagia? Tapi jika memang semesta tidak menginginkannya, harusnya Ralaya langsung lenyap saja saat dirinya hampir tertabrak mobil waktu itu.

Oh atau jangan-jangan semesta memang sangat senang bermain dengannya?

Ralaya benci dirinya sendiri. Dia jijik dengan dirinya sendiri.

Lengannya tak henti mengeluarkan darah. Dikedua lengannya terdapat goresan panjang. Yang membuatnya semakin ngilu adalah karena Ralaya menggoresnya secara acak.

Gadisnya benar-benar frustasi.

Niatnya tadi Dev akan mengantarkan makan siang untuk Ralaya, tapi yang dia dapat hanyalah gadis itu yang terduduk dilantai dengan silet dan kedua lengan yang sudah bersimbah darah.

Tentu saja Dev marah, tak segan membentaknya juga. Tapi kini Ralaya yang ada dihadapan Dev berbeda karena gadis itu sudah berani mengancamnya. Gadis itu tampak kacau.

Kalo kamu berani kesini, aku bisa lakuin hal gila lainnya.”

Bagi Dev, itu terdengar menggelikan tapi baru satu langkah, gadis itu langsung menggores lengannya sendiri. Membuktikan kalau ucapannya tidak main-main sekaligus membuat Dev jadi diam tak berkutik.

Jadilah kini Dev yang duduk bersandar pada tembok, menatapnya penuh khawatir, takut dan menahan rasa marahnya. Semuanya menjadi satu.

Dadanya terasa panas karena berusaha menekan amarah yang membuncah ke titik paling dasarnya.

“Kenapa dia datang, Dev?” isak Ralaya dengan kedua mata yang sembab hasil menangis selama berjam-jam. “Aku cuma mau nikmatin masa SMA dengan tenang sama kamu dan sahabat aku karena cuma kalian yang aku punya.” Tubuhnya bergetar dan Ralaya memeluk tubuhnya sendiri, tidak peduli kalau darah dari lengannya akan mengotori baju yang dipinjamkan Dev untuknya. “Tapi kenapa dia dateng dan hancurin semuanya?”

Tangisan itu terdengar pilu, hati Dev benar-benar merasa sakit seolah teremas oleh sesuatu.

Brengseknya, dia hanya bisa diam layaknya orang bodoh. Keadaan Ralaya membuatnya serba salah.

“Aku takut, Dev,” lirih gadis itu saat ingatannya terputar pada kejadian semalam. Dia sendirian disana bersama Deri dalam situasi yang tidak pantas.

Dev menarik rambutnya frustasi sambil memejamkan matanya. Dia tahu gadisnya sedih, marah dan takut atas kejadian kemarin tapi jujur saja, Dev juga merasakan hal itu.

[I] Ralaya ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang