Bab 10

16.2K 872 41
                                    

Seorang gadis terduduk di sudut kamarnya dengan penampilan yang sangat kacau.

Sesekali masih ada isakan yang lolos dari bibir mungilnya. Dipadukan dengan mata yang sembab dan hidung yang memerah, membuatnya tampak seperti anak kecil yang merengek karena tidak dibelikan lolipop oleh orangtuanya.

Iris hitam selegam malam itu menatap kosong ke bawah. Binar dimatanya hilang. Untuk sekarang, napasnya sedikit lebih baik, dia cukup tenang saat melihat cairan merah menetes ke lantai yang bersumber dari goresan di lengannya sendiri.

Dia tidak tahu kondisi seperti ini disebut apa.

Dia tidak tahu kenapa hanya dengan menggoreskan benda tajam ke permukaan kulitnya bisa membuat perasaannya membaik.

Dia tidak tahu kenapa rasanya bisa sakit dan menenangkan secara bersamaan.

Dia tidak tahu kenapa dia mau-mau saja melakukan ini secara berulang.

Gadis itu memeluk lututnya dan menyembunyikan wajah sembabnya disana.

Hari ini terasa panjang dan melelahkan baginya. Rasanya setiap hari semakin bertambah buruk.

Dia masih ingat saat tempo hari dia tidak sengaja memergoki papanya, Ralaya langsung bercerita pada mamanya sambil menangis dan berulang kali meminta maaf pada mamanya itu.

Berbeda dengan Ralaya, Mila justru tidak terlihat kaget tapi hatinya kembali berdenyut nyeri. Dia juga tak malu meminta maaf pada Ralaya karena gara-gara mereka hidup Ralaya harus berantakan seperti ini. Mamanya berpesan agar puterinya itu tidak membenci papanya selepas kejadian ini tapi Ralaya tidak bisa menjamin hal itu sekarang.

Ini sudah berhari-hari sejak kejadian itu. Ralaya rasa, hidup berdua dengan mamanya tidaklah buruk. Setidaknya tidak akan ada lagi pihak yang akan tersakiti. Dia mencoba bersikap dewasa.

Setelah dirasa lebih baik, Ralaya menghapus tetesan jejak darah di lantai dan tangannya dengan tisu. Tak lupa dia juga mengobati lukanya dan menutupnya dengan plester khusus luka.

Kakinya menuju meja belajar, membawa laptopnya menuju kasur lalu berbaring. Bersiap video call dengan seseorang.

"Hai," sahut ramah suara di seberang sana. Cowok itu terlihat tersenyum saat melihat sosok Ralaya yang tengah balas tersenyum sambil melambaikan tangannya. "Kenapa belum tidur? Ini udah jam sepuluh malem."

"Biasa juga gak tidur jam segini. Kamu ngantuk?"

Dev menggelengkan kepalanya. "Jangan dibiasin. Gak baik."

"Belakangan kan aku emang Insomnia."

Ya, Dev tahu itu. Selain karena aduan dari Tara, Mia dan Namira, gadisnya ini juga mengakui kalau belakangan ini dirinya memang susah tidur.

Kantung mata Ralaya adalah hal yang selalu Dev lihat sekarang ini. Sangat tidak pas berada diwajah cantik gadisnya.

Dev tidak mau kalau Insomnia ini menganggu aktifitas Ralaya disekolah.

"Are you ok?"

Ralaya mengangguk. "I'm oke. Why?"

"Nope," kata Dev berusaha tersenyum. Harusnya Ralaya tidak usah berbohong. Dia tahu kalau gadisnya sedang tidak dalam keadaan baik-baik saja. Dev masih bisa melihat wajah sembab Ralaya meskipun sedikit. "Tidur gih. Aku gak mau kamu ngantuk di kelas."

"Tenang aja, kan bisa tidur di UKS atau perpus juga bisa."

Dev hanya diam, menatap Ralaya dengan datar. Meskipun mereka berjauhan dan hanya bertatap muka melalui laptop, tetap saja tatapan datar dan aura Dev yang dominan selalu membuat Ralaya ciut.

[I] Ralaya ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang