Bab 19

14.5K 686 36
                                    

Untuk kesekian kalinya, Ralaya melirik layar ponsel. Memastikan ini mimpi atau kenyataan.

Pesan ini yang sedari dulu dia harapkan tapi setelah hari ini tiba, dia malah jadi enggan.

Entahlah, rasanya bingung. Terlalu sulit untuk dijelaskan.

Dia menggigit bibir bawahnya, dahinya mengernyit. Dia tampak gugup dan gusar disaat yang bersamaan.

Melihat gadisnya yang gelisah, Dev pun mengusap rambut Ralaya lembut, membuat gadis itu menoleh menatapnya.

“Kalo kamu gak mau atau belum siap mending bilang aja. Papa kamu juga pasti gak bakal marah.“

Ralaya diam, mencoba menimbang ucapan Dev barusan.

Apakah dia harus membatalkan janji papanya, ya? Tapi beliau bilang kalau papanya ini begitu merindukan Ralaya dan ingin bertemu sekalian mengajaknya makan ke sebuah restoran yang sudah ditentukan.

Tapi jika membatalkan janjinya, Ralaya jadi tidak enak. Jauh dilubuk hatinya, dia juga merindukan papanya. Ya meskipun kesan terakhir yang dia dapat sangatlah buruk.

“Gimana?” tanya Dev memastikan.

“Lanjut aja. Aku gak enak kalo batalin janji,” gumam Ralaya dan Dev hanya mengangguk sebagai jawaban. Dia akhirnya kembali melajukan mobilnya menuju sebuah restoran.

Kini mereka sudah sampai di parkiran tapi diantara mereka belum ada yang membuka seatbelt.

Lagi-lagi Dev melirik gadisnya, Ralaya masih diam dengan tatapan kosong.

Apa gadisnya belum menyadari kalau mereka telah sampai ditempat tujuan?

Iya, Ralaya memang tidak menyadari. Dia terlalu sibuk dengan beberapa pemikiran dan kemungkinan yang ada dihadapannya.

“Sayang?” panggil Dev sambil menyentuh pundak gadisnya.

“Ah i–iya, kenapa?”

Dev tersenyum. “Kita udah sampe.”

Gadis itu pun melirik keadaan sekitar melalui kaca mobil dan ya, mereka memang sudah sampai.

Baiklah, dia benar-benar panik sekarang.

“Kamu kenapa sih?”

“Hm ... gak seharusnya aku takut ketemu papa kan, Dev?”

Cowok itu menatap gadisnya dengan tidak mengerti. “Sekarang kamu lagi takut?” Dev menggenggam tangan gadisnya dan telapak tangannya sedikit lembab dan dingin.

“Dikit sih tapi lebih ke—apa ya. Deg-degan mungkin?”

Dev tersenyum hangat, menggenggam tangan mungil gadisnya. “Semua bakal baik-baik aja.”

Secara tidak langsung, ucapan Dev memang mempengaruhinya. Tapi dia juga bingung kenapa dia harus takut?
Dia kan hanya bertemu dengan papanya sendiri. Ini benar-benar aneh.

Sebelumnya Ralaya merapikan rambutnya yang tergerai dan merapikan rok sekolahnya. Setelah beberapa kali menghembuskan napas agar sedikit rileks, dia pun menghampiri Dev dan keduanya menuju meja yang sudah dipesan sang papa.

[I] Ralaya ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang