I beg you, Dev. Please.”

Suara serak ditambah matanya yang semakin sembab membuat hati Dev berdenyut nyeri.

Dia tidak suka cara gadisnya memohon seperti ini. Semakin gadis itu memohon, semakin sakit pula perasaannya.

Sejujurnya, dia tidak bisa dan tidak tega melihat gadisnya yang frustasi.

“Waktu itu aku hampir mati sia-sia,” isak gadis itu sambil merunduk menatap tangannya yang memegang cutter sekaligus tangannya yang dicengkram kuat oleh cowok di depannya ini. Tangannya itu bahkan masih gemetaran. “Tapi kayaknya itu percuma, gak ada yang mau percaya.”

“Aku percaya kamu.”

Gadis itu menggelengkan kepalanya pelan. “Kamu bahkan gak liat dari awal. Bukan gak mungkin kamu juga ikutan salah paham.”

“Engga, aku emang percaya kamu.”

You are just full of shit,” kata gadis itu menatap Dev dengan sorot terluka.

Reflek cengkraman Dev kembali menguat. Dia tidak sedang mengatakan sebuah omong kosong.

Dia benar-benar percaya pada Ralaya, sepenuhnya. Tidakkah gadis itu melihat kesungguhan yang diberikan Dev?

Gadis itu kembali memberontak minta dilepaskan tapi Dev sepertinya takkan melepaskannya dengan mudah.

You are just full of shit, Dev!”

“Kamu pikir kita kenal sehari dua hari?” kata Dev dengan datar tapi tatapannya begitu mengintimidasi. Menatap gadis itu tepat di iris hitamnya. “Aku percaya kamu, sangat.”

“Terus gimana bisa pria di bawah sana gak percaya sama anaknya sendiri?!” teriak gadis itu yang terdengar begitu pilu bagi Dev.

Dev merutuki dirinya sendiri.

Daripada mencengkram tangan gadisnya, Dev lebih memilih memeluk dan menghapus air mata sialan itu karena dengan sangat lancangnya membasahi pipi gadisnya. Tapi mau bagaimana lagi, keadaan lah yang memaksanya untuk bertindak seperti ini.

Satu hal yang Dev ketahui sekarang. Bahkan gadisnya tidak mau menyebut pria dibawah sana dengan sebutan papa.

Ralaya benar-benar geram karena Dev dan dirinya sama-sama keras kepala.

Dia perlu merasakan sesuatu untuk membuatnya lebih baik tapi Dev selalu menghalangi tindakannya.

Dev takkan tahu bagaimana tersiksanya dia saat ini. Semua rasa sakit hatinya takkan hilang dengan menangis seperti ini.

Emosinya kian memuncak kala dia merasakan sakit yang kian menjadi di pergelangan tangannya. Cengkraman Dev terlalu kuat.

Satu sekon setelahnya, Ralaya menghempaskan tangan Dev secara agresif bersamaan dengan cutternya dan pekikan Dev langsung memenuhi ruangan.

Cowok itu reflek langsung melepaskan cengkramannya dan menjauhkan tubuhnya.

Dev sedikit merunduk menatap luka sayatan yang memanjang sambil meringis kesakitan. Rasanya perih dan berdenyut nyeri.

Dia lebih memilih luka lebam daripada luka sayatan.

Iris hazel itu menatap cairan merah kental yang mengalir dari tangannya hingga menetes mengenai lantai kamar gadisnya.

Warna merah itu begitu kontras, membuatnya sangat mencolok.

Dev masih terkejut dengan apa yang barusan terjadi karena itu semua seperti berjalan dengan cepat. Dia bahkan tidak melihat ekspresi yang ditunjukan Ralaya setelah tanpa sengaja menyayat lengan Dev.

[I] Ralaya ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang