I Fall in the Autumn Part 2

Start from the beginning
                                    

"Disini mau hujan, berteduh sejenak yuk. "

Kusodorkan ubi bakar yang dibawa bapak, " Ini buat kamu ", dia nampak ragu-ragu. Tapi aku meyakinkannya, kemudian dia menerima ubi bakar dan tersenyum dan bilang sesuatu namun aku tak mengerti artinya.

"Arigato"

Kami makan berdua, tanpa banyak bicara. Tapi rasanya senang sekali. Kami hanya saling memandang dan tertawa. Saat itu, aku masih terlalu kecil untuk mengerti bahwa kami bercakap dengan lain bahasa. Usiaku saat itu baru 5 tahun, dia kutaksir pun sama.

Sekitar setengah jam kemudian, dia beranjak dari barak, dan berkata "Jya mata ne". aku hanya mengernjitkan dahi, "ha???"

Dia tersenyum, "bye bye", sambil melambaikan tangannya dia berlari ke arah empang dan menghilang di antara kebun garut. Aku memandanginya hingga dia menghilang.

Beberapa hari kemudian, aku bertemu kembali dengannya di jalan. Dia sedang di dalam mobil dengan kaca yang terbuka. Tatapannya sedih. Kulihat seorang wanita, mungkin ibunya, sedang membeli kelengkeng di tepi deretan sawah. Aku melihatnya dari jauh. Tiba-tiba dadaku sesak. Seolah aku tahu bahwa aku mungkin tidak akan bertemu dengannya untuk waktu yang lama. Aku berlari tergesa dari barakku di tengah sawah. Aku berlari melewati jalan kecil pembatas petakan sawah, hingga aku terpeleset dan terjatuh. Aku terperosok dan ketika kuangkat kaki dan kubersihkan dari lumpur, lututku berdarah. Tiba-tiba saja dia sudah di depanku dengan nafas sedikit tersenggal.

"Daijyobu?" katanya dalam bahasa yang tidak ku mengerti.

Tanpa banyak kata lagi, dia mengeluarkan sapu tangan dari sakunya dan mengelap lututku. Kemudian dai mengeluarkan serenteng pembalut luka dan membukanya satu untuk ditempelkannya ke lututku. Dan memberikan sisanya padaku. Kemudian dia mengelus-elus lututku dan bilang "Odaijini".

Dia memandangiku yang sedang membersihkan sisa lumpur di sela kakiku.

" Kyo wa, boku nihon e kaeru kara, kondo itsu aeru ka wakarang, demo zettai ni aitai. Mata au ne"

Katanya sambil tersenyum menatapku. Sedangkan aku, hanya mengernyitkan dahi karena tidak mengerti apa yang dia katakan.

"Naokiii...Naokiii"

Teriak ibu itu, anak itu kemudian bangkit dan berdiri. "Sayonara. Mata au ne" katanya sebelum kembali. Aku melihatnya berlari ke arah mobil. Sepertinya ibunya memarahinya. Kulihat dia masuk ke mobil. Aku hanya berdiri di tepian sawah. Memandangi mobil itu hingga berlalu. Kugenggam erat pembalut luka pemberian darinya. Aku berjalan pulang ke barak menunggu bapak dan ibu selesai mencangkul. Saat itu, aku hanya ingin mengingat namanya, Naoki.

Waktu berlalu hingga saat daftar ulang masuk SMA, aku bersebelahan dengan seorang laki-laki. Kulihat dia bukan asli dari kota ini. Saat kulirik dokumennya, tertulis nama Naoki Arian Sukmabrata. Dia diantar ayahnya dan mereka bercakap dalam bahasa Jepang. Namun ternyata, Naoki bisa berbahasa Indonesia dengan lancar. Rasanya, aku seperti menemukan kembali kenangan masa lalu yang hilang. Aku hanya tersenyum sendiri, namun tak berani untuk mengajaknya bicara. Aku malu. Mungkin saja dia sudah melupakannya. Maka kuputuskan untuk menyimpannya dalam hati.

Aku menatap kaca di depan ku, kemudian ku lepas kacamataku. Sejenak kulirik lagi satu-satunya benda kenangan dari Naoki sebelum ku tutup laci mejaku. Aku tak berani untuk menanyakannya pada Naoki. Tidak dengan penampilanku yang kucel seperti ini. Bagiku saat ini, menatapnya dari jauh dan melihat senyumnya sudah cukup membuat aku semangat. Mungkin suatu saat nanti, aku pasti akan punya kesempatan untuk sekedar menanyakan apakah dia mengingatnya atau tidak. Tapi saat ini, aku hanya belum berani.

Aku bergegas mengganti baju dan menyiapkan makan malam untuk bapak dan ibu. Sejenak kupandangi rumahku. Ah, suatu saat aku akan bisa memperbaikinya kelak. Samar terdengar suara langkah kaki dan sepeda. Bapak dan ibu rupanya sudah pulang. Aku bukakan pintu rumah dan meneruskan kembali memasak.

Bapak memanggilku untuk duduk di meja ruang tamu kami yang kecil. Di depan meja ada sebuah surat.

" Bacalah" kata bapak sambil menyalakan sebatang rokok kretek. Raut muka bapak tersirat sedih dan berpikir akan sesuatu. Aku membacanya perlahan. Surat dari kakak rupanya. Untuk sekian lama tidak pernah menanyakan kabar sedikit pun, tiba-tiba dia berkirim surat dengan mengirimkan uang dalam jumlah yang tidak sedikit. Permintaan maaf dan cerita yang panjang hingga 6 lembar kertas dia tuliskan. Di bagian akhir, dia tuliskan untuk mengajakku tinggal di Jakarta. Dia bilang akan membiayaiku kuliah.

Aku menutup suratnya dan melipatnya.

" Kakakmu ingin kamu kuliah di jakarta. Kamu gimana? " suara ibu yang halus membuatku terhenyak.

Aku pun hanya terdiam. Sejujurnya aku tak ingin pergi ke Jakarta. Aku ingin tinggal disini untuk merawat ayah dan ibu. Karena aku tau persis, bagi mereka sekarang hanya aku lah yang mereka punya.

" Rina itu kurang ajar. " Kata bapak tiba-tiba, " Sudah pergi hidup enak di Jakarta, Udin meninggal juga tidak pulang. Bertanya saja tidak, sekarang tiba-tiba minta Emi tinggal disana. Dia tidak mikir perasaan bapak dan ibu. Mentang-mentang sekarang sudah kaya, punya uang banyak, seenaknya saja ngatur".

Aku dan ibu hanya terdiam.

" Tapi kalau Emi nya mau, ya kita gak bisa melarang to pak" kata ibu berusaha menenangkan bapak dengan memijit bahunya.

Bapak kembali menghisap rokoknya dan membuang abu ke asbak.

" Di Jakarta kamu enak Emi, gak usah susah ke sawah. Nanti kulitmu putih. " kata bapak dengan tertawa datar, aku tau dia sedang mencoba menghibur dirinya sendiri dan mencairkan sesuatu.

Aku hanya bisa memandang foto ku bersama kakak dan adikku. Pandanganku kualihkan ke kertas surat kakak dan lembar wesel yang dikirim serta. Aku menarik naffas panjang sebelum akhirnya berkata,

" Bapak, Ibu, Emi sekarang mau fokus sekolah dulu. Nanti kalau sudah kelas 3, Emi akan bicara lagi mau kemana nanti."

" Ya sudah, belajar yang baik nak. Cuma kamu satu-satunya yang bisa bapak bicarakan di sawah sama petani-petani lain"Kata bapak beranjak dari kursi dan mematikan rokoknya yang sudah habis.

" Bu, air panas sudah siap? Bapak mau mandi "

" Iya pak, tinggal dituang aja" kata ibu kemudian mendekatiku dan tiba-tiba memelukku.

Aku tersenyum getir dan ikut memeluk ibu. Aku mencoba mengerti perasaan mereka. Dan hal ini semakin membuatku untuk bisa membawa senyum bahagia mereka yang telah lama hilang.

Ibu kemudian ke dapur membereskan sisa memasak tadi. Aku keluar rumah sebentar untuk memandangi langit malam yang tertutup awan. Tak terlihat bintang malam ini. Bulan pun samar tertutup awan. Perasaanku saat ini campur aduk. Orang tua ku pun pasti begitu.

I Fall in the Autumn (Completed)Where stories live. Discover now