Twenty-Eight

5.2K 223 0
                                    

Sudah tiga hari setelah pertengkaran pertama Sheena dan Bagas. Akhirnya, Sheena dibolehkan pulang ke rumah dengan syarat harus banyak-banyak istirahat dan disarankan untuk tidak sekolah dulu karena kondisinya yang masih lemah. Namun keras kepala Sheena muncul disaat yang tidak tepat. Dia bersikeras untuk sekolah dan memastikan pada kedua orang tuanya kalau ia baik-baik saja.

Baru setengah jam upacara bendera berlangsung, kepala Sheena kembali sakit dan membuat pertahanannya runtuh. Ia pingsan diatas lengan Bagas yang sejak upacara berlangsung terus memerhatikan gerak-gerik Sheena yang terlihat tidak bisa menahan diri. Bagas langsung membawa Sheena ke UKS dengan bantuan para anggota PMR.

Dan sekarang, sudah bel masuk pelajaran pertama dan Sheena belum juga sadarkan diri. Bagas yang menemaninya di dalam ruang UKS terus berdoa sambil menggenggam erat jemari kanan Sheena. Berharap perempuan dihadapannya segera sadar.

Getaran disaku celana membuat Bagas melepaskan genggamannya pada jemari Sheena untuk memeriksa siapa yang menelepon. Mamanya Sheena. Dengan segala keberanian yang ada, Bagas mengangkat teleponnya, “Hallo tante?”

“Bagas, kata Della Sheena pingsan lagi, bener?”

“Eh, uh, i—iya tan. Tadi dia maksain buat ikut upacara, padahal wali kelasnya ngebolehin kalo dia ngga ikut. Akhirnya pingsan tan.”

“Tapi sekarang udah sadar?”

“Belum tan, sama sekali belum. Apa sebaiknya dibawa kerumah sakit lagi aja tan?”

“Ayahnya Sheena lagi dalam perjalanan menuju kesana kok. Kamu jagain Sheena dulu ngga apa-apa kan?”

“Oh iya ngga apa-apa kok tan, aku temenin terus.”

“Makasih ya Bagas, tante tau kok pilihan Sheena ngga pernah salah. Jangan pernah lelah karena ngeliat Sheena yang seperti ini ya.”

“Ngga tan, tante tenang aja. Bagas tulus sayang sama Sheena. Ngga mungkin cuma karena masalah kayak gini Bagas langsung pergi gitu aja.”

“Makasih ya nak, yaudah tante tutup dulu ya, assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam.”

Bagas menyimpan kembali handphone disaku celananya dan kembali mendekati ranjang dimana Sheena dibaringkan. Bagas menatap lekat-lekat wajah Sheena yang selalu sukses membuatnya tersenyum senang. Akhir-akhir ini terlalu banyak masalah yang datang pada mereka berdua, seakan menguji seberapa besar rasa sayang keduanya. Dan Bagas sadar, kalau ia memang benar-benar mencintai perempuan ini.

“Bagas!”

Bagas menoleh ke asal suara, menemukan tiga teman dekat Sheena yang selalu menemaninya kemanapun mendekati dirinya dengan wajah tidak menyenangkan. Bagas yakin mereka akan mengadakan interogasi mendadak.

“Kenapa?” Tanya Bagas dengan santai, menutupi rasa penasarannya pada apa yang akan ketiganya tanyakan.

“Jujur, lo lagi ada masalah ya sama Sheena?”

Bagas menelan ludah mendengar pertanyaan pertama yang keluar dari mulut Wulan, “Emang kenapa?”

“Itu bukan jawaban, bodoh. Jujur aja. Sheena pasti kayak gini lagi karena banyak pikiran, dan satu-satunya masalah terbesar dia itu ya tentang elo.”

“Bisa kan kalian ngga usah ikut campur kayak gini?”

Reva yang sebelumnya masih asyik dengan makanannya langsung maju dengan tampang ngga suka, “Kita ikut campur karena kita peduli sama Sheena. Dia sahabat kita bertiga. Dia yang paling ceria diantara kita. Dia yang paling heboh. Dia yang segala-galanya, dan sekarang dia sakit kayak gini. Salah satu penyebabnya … ya elo!”

How Can I Move On?Where stories live. Discover now