Four

8.1K 275 6
                                    

“Kamu serius? Ngga mau aku tungguin?” tanya Kenta untuk kesekian kalinya pada Della yang baru selesai mengganti seragam dengan pakaian cheers.

“Serius. Kata Sassie minggu ini lagi ada ulangan Fisika, kan? Yaudah kamu pulang aja, belajar yang bener,” kata Della tanpa menatap Kenta, sibuk dengan ikatan tali sepatu yang sedang ia lakukan.

“Emang iya sih. Tapi ngga apa-apa kok kalo kamu emang mau ditemenin. Atau ngga nanti aku jemput lagi aja ya?”

“Ngga usah, Kenta. Aku bisa minta dijemput sama supir kok. Kamu pulang aja, ya. Udah agak mendung juga tuh, nanti malah keburu hujan.”

“Iya udah, aku pulang dulu ya.” Kenta mengacak puncak kepala Della dan berjalan meninggalkan lapangan basket, tempat anak cheers akan latihan.

Dibalik poni yang biasa menutupi wajahnya, Della tersenyum. Ini kali pertama Kenta menyentuh kepalanya, apalagi hanya untuk sekedar mengacak rambut yang sudah ia tata lima menit yang lalu. Namun ia sadar akan apa yang ia putuskan. Sesuatu yang mungkin akan ia sesali.

Setelah mengeluarkan motornya dari pelataran parkir, saat hendak menyalakan mesin motor, Kenta melihat seorang perempuan dengan resahnya mondar-mandir gerbang sekolah untuk melihat sesuatu. Dan Kenta sangat mengenal gerak-gerik gelisah perempuan itu, bahkan sebelum ia melihat wajah perempuan itu.

“Na? Ngapain?” tanya Kenta mematikan mesin motornya saat motornya berada disebelah Sheena. Sheena menoleh dengan wajah gelisahnya, dan segera menutupinya dengan tersenyum.

“Ngg .. Ngga, anu—itu, lagi nunggu. Iya, lagi nunggu,” kata Sheena dengan perkataan yang tak kalah gelisahnya. Sekarang Kenta tahu apa yang terjadi. Ia segera menyalakan mesin motornya.

“Ayo, naik,”

“Ha? Eh ngga deh, ngga usah, nanti juga ada taksi lewat. Eh ngga, maksudnya—“

“Udah ayo. Udah mau hujan, nanti kamu malah kehujanan,” kata Kenta menarik tangan kanan Sheena dan menyuruhnya naik ke jok belakang motor. Beberapa detik kemudian, Kenta sadar akan kesalahannya dalam berbicara yang membuat Sheena membeku ditempat, “Eh, maksudnya, nanti lo kehujanan. Udah ayo.”

“E—eh, iya.” Setengah gugup, Sheena menaiki motor dengan bantuan bahu Kenta. Tanpa diminta, Kenta langsung memberikan jaket basket semasa SMP yang selalu ia bawa-bawa itu pada Sheena, untuk menutupi paha Sheena yang terbuka.

Sejak SMP, Kenta selalu tahu apa yang paling tidak disukai Sheena. Naik motor. Sheena tak suka naik motor karena rok sekolahnya yang selutut, membuatnya jika naik motor akan terangkat dan memperlihatkan pahanya. Walaupun sampai detik ini mereka sudah tak lagi berpacaran, entah kenapa Kenta selalu membawa jaket cadangan, yang menurutnya akan diperlukan. Benar saja.

Tepat saat mereka sampai dirumah Sheena, hujan turun dengan derasnya. Sheena memaksa Kenta masuk ke dalam rumah karena ia tak akan membiarkan Kenta pulang dengan baju basah kuyup seperti itu. Dan Kenta menyetujuinya.

“Assalamualaikum, ma,” seru Sheena saat membuka pintu utama dan langsung memasukkan sepatunya di rak sepatu. Kenta yang baru selesai melepas sepatu ikut masuk dan berdiri disebelah Sheena.

Anna keluar dari dapur dan menemukan putri sulungnya bersama seseorang yang beberapa hari lalu meneleponnya, menanyakan kabarnya. Kenta langsung mencium punggung tangan Anna dengan sopan, membuat Anna menyunggingkan senyum.

“Waalaikum salam. Sheena pulang bareng Kenta? Wah tumben banget. Ena bersihin badan dulu ya, dibersihin kepalanya, kebasahan itu. Kenta mau bilas dulu? Kedinginan kan pasti, pake baju ayahnya Sheena dulu aja,” oceh Anna.

Sheena hanya mengangguk dan langsung masuk ke kamarnya. Sedangkan Kenta hanya mengangguk karena ia memang kebasahan, dan tubuhnya juga merasa kedinginan, jadi ia takkan malu-malu untuk menerima saran Anna.

How Can I Move On?Where stories live. Discover now