Eighteen

5.6K 229 4
                                    

“Tadi Fauzan liat kak Sheena dianterin sama cowok tau, ma,” celetuk Fauzan disela-sela makan malam yang sedang berlangsung itu. Sheena yang sedang menyuap makanannya langsung melotot kearah adiknya yang duduk tepat dihadapannya. Sedangkan yang dipelototi hanya nyengir-nyengir tak berdosa.

“Sama kak Kenta?”

Fauzan menggeleng mantap, “Bukan! Aku tau motor kak Kenta kayak gimana. Tadi kak Sheena juga masuk kerumahnya ngga lari-lari kalo dianterin sama kak Kenta,”

“Apaan sih dek,  gossip aja. Tadi yang nganterin cewek kok.”

“Masa cewek bawa motor gede, pake celana lagi.”

“Aku kenyang.” Dengan cepat Sheena membawa piring kotornya yang setengah bersih itu ke dapur dan langsung mencucinya. Tanpa perlu repot-repot duduk di ruang makan lagi, Sheena langsung mengambil segelas besar penuh air mineral dan masuk ke dalam kamar.

“Hayoloh kakaknya ngambek,” kata Anna sambil merapihkan piring kotor Fauzan dan miliknya. Fauzan memanyunkan bibirnya, merasa bersalah.

Setelah meminum air sebanyak mungkin, Fauzan mengetuk pintu kamar Sheena, berniat meminta maaf. Namun Sheena tak juga membukakan pintu untuk Fauzan, malah mengencangkan volume musik yang sedang diputarnya.

“Dia masih kesel. Besok juga udah baik lagi. Kamu kerjain pr lagi gih sana,” kata Anna dari dalam dapur, masih sibuk mencuci piring. Fauzan menurut dan langsung berjalan masuk ke ruang keluarga, melanjutkan kembali PR yang tadi belum selesai.

Adzan Maghrib berkumandang dengan lantangnya, membuat sepasang kekasih yang sedang asyik berfoto ria di taman kota bersama-sama mengucap syukur dan meminum air mineral yang beberapa menit lalu dibelinya. Melihat Bagas yang tidak puasa namun malah menghabiskan minum satu botol sekaligus membuat Sheena terkikik geli.

“Kok ketawa sih?” Merasa ada yang aneh dari Sheena, Bagas menghentikkan minumnya.

“Kan yang puasa aku, tapi yang kayaknya haus banget malah kamu,” kata Sheena di sela-sela tawanya. Bagas nyengir dengan wajah sok polosnya.

“Aku haus tau. Udah yuk, kita beli makanan. Kamu pasti laper kan,”

“Ngga sih, biasa aja. Kamu kali yang laper,” ledek Sheena, membuat Bagas jengkel, akhirnya mencubit pipi Sheena tak tanggung-tanggung. Baru dilepasnya saat perempuan itu meminta ampun sampai lima kali banyaknya, menimbulkan bekas kemerahan di pipi Sheena.

Keduanya memilih memesan makanan seafood di sekitar taman kota. Bukan restoran atau tempat makan yang ber-AC, hanya makanan seafood biasa di pinggir jalan. Bagas bilang, ia dan keluarganya sering makan malam disana jika sedang tak ada makanan dirumah. Jadi ia bisa menjamin makanan disana bersih.

“Kenapa ngga makan dirumah aku aja deh? Pasti kan mama udah masak,” kata Sheena lalu meminum lagi air mineralnya yang bersisa sedikit sambil menunggu pesanannya datang.

“Ngga seru lah. Sama aja kayak numpang makan kalo kayak gitu.”

“Tapi aku ngga enak sama mama, pasti dirumah cuma berdua sama Fauzan.”

“Emang papa kamu kemana?”

“Lagi dinas di Semarang.”

“Iyaudah, abis shalat maghrib kita pulang ya. Udah malem juga.” Kata Bagas mengelus pelan puncak kepala Sheena. Sheena hanya mengangguk, menyunggingkan senyum tipis melihat sifat Bagas yang ternyata berbeda jauh dengan tingkah biasanya di sekolah.

Sambil turun dari motor dengan bantuan pundak Bagas, Sheena berkata, “Makasih ya, Gas. Aduh gue jadi ketiduran. Tadi jadi ribet ya bawa motornya? Sorry sorry.”

How Can I Move On?Where stories live. Discover now