Twenty-Four

4.9K 241 0
                                    

Bukan pagi yang cukup menyenangkan untuk Sheena. Setelah selesai sarapan, Sheena ngga langsung berangkat, melainkan duduk di sofa ruang tamu lebih dulu sambil mengutak-atik handphonenya. Anna yang hendak mengantar Rizal ke depan karena sudah ingin berangkat melihat wajah murung gadisnya.

Anna duduk disebelah Sheena, “Kok belum berangkat, sayang? Bagas belum jemput?”

“Bagas ngga jemput hari ini.”

“Terus kenapa masih disini? Nanti malah kejebak macet.”

Sheena hanya diam. Handphone dimasukkannya ke dalam tas, namun ia tak kunjung berdiri. Anna melihat ada yang berbeda dari perempuan satu-satunya itu. Ngga biasanya Sheena terlihat semurung itu.

“Yaudah, berangkat sekarang, ya. Nanti malah telat. Ayo mama anterin ke depan,” kata Anna seraya mengajak Sheena berdiri. Sheena mengangguk dengan lesu dan mengikuti mamanya berjalan menuju garasi.

Sejak pagi tadi setelah selesai shalat Shubuh, Sheena benar-benar ngga ada semangat untuk pergi ke sekolah hari ini. Ia merasa tubuhnya tidak mendukung sedikitpun untuk mengantarkannya ke sekolah. Ditambah lagi hari ini Bagas tidak menjemputnya.

Saat melewati depan kelas Bagas, Sheena berharap-harap cemas, agar Bagas tiba-tiba memanggilnya, keluar dari kelas, dan seperti biasa, mengucapkan selamat pagi untuknya. Karena sejak pagi sampai detik ini ia sama sekali belum mendapat sapaan dari Bagas seperti biasanya. Ingin menoleh untuk melihat isi kelas Bagas saja rasanya berat sekali. Benar-benar berat.

“Woy,” Seseorang mengagetkan Sheena yang hampir memasuki kelasnya. Awalnya Sheena sudah senang sekali karena ada yang mengagetkannya seperti yang Bagas lakukan, namun saat melihat kalau orang lain yang melakukan itu, Sheena kembali lesu.

“Apa?” Tanya Sheena pada Wulan yang sekarang sudah berdiri didepannya. Wulan langsung menangkap cara bicara Sheena yang jauh berbeda dari biasanya. Dan jika biasanya kalau Sheena dikagetkan seperti itu akan langsung mengomel, kali ini ia hanya menoleh dengan lesu dan menjawab ‘apa?’. Itu bukan Sheena yang dikenalnya.

“Kenapa lo?” tanya Wulan mengajak Sheena berjalan masuk ke kelas. Sheena hanya menggeleng pelan, lalu duduk ditempatnya. Nadya masih sibuk dengan PR-nya, jadi ngga terlalu peduli pada Wulan dan Sheena yang baru datang.

“Denger-denger, katanya Kenta tanggal delapan ulang tahun, ya? Dua hari lagi dong?” tanya Wulan lagi. Lagi-lagi, Sheena hanya mengangguk lesu, dan mulai menelungkupkan kepalanya diantara kedua tangannya yang terlipat. Sheena menutup seluruh wajahnya dengan jaket. Yang ia inginkan saat ini hanya ketenangan.

Jam pelajaran terakhir ini kosong, gurunya izin karena ada urusan mendadak diluar sekolah, tapi anak murid belum dibolehkan pulang. Sheena masing asik menutupi seluruh kepalanya dengan jaket sambil menutup mata. Saat yang lain ke kantin-pun Sheena lebih memilih tiduran di kelas. Hari ini mood nya benar-benar sedang tidak bagus, jadi ia memilih untuk berdiam diri dikelas. Ketiga temannya tak bisa berbuat banyak, selain mencemaskan Sheena yang sejak tadi tidak mau berbicara.

“Na, lo ngga pegel tiduran kayak gitu terus?” tanya Nadya sambil mengelus pundak Sheena pelan. Sheena hanya menggeleng. Nadya menoleh pada kedua teman dibelakangnya, mereka hanya membalasnya dengan tatapan sedih. Ngga biasanya Sheena se-pendiam ini. Malah Sheena ngga pernah diem aja seharian kayak gini, dia selalu ceria, selalu ngehibur temen-temennya yang sedih.

“Jangan kayak gitu terus dong, Na. Kita ngobrol, yuk,” kata Reva seraya menarik pelan jaket Sheena. Namun Sheena hanya menggeleng dan menarik lagi jaketnya.

“Biasanya kan kita yang curhat ke lo, minta saran ke lo, sekarang mungkin waktunya elo. Kita ngga mau dibilang temen yang cuma ada saat butuh. Sekarang, lo butuh kita. Lo bisa cerita semuanya ke kita. Ayo dong, Na,” kata Wulan dengan lembut, membuat Sheena kali ini tidak lagi menggeleng. Ia hanya terdiam.

Sheena sangat mengerti kalau teman-temannya mengkhawatirkan dirinya. Namun Sheena benar-benar ngga ingin membuka mulut sedikit saja hanya untuk menceritakan apa yang terjadi padanya. Terlalu lemah.

Baru mau kembali berbicara, Nadya melihat Bagas yang tiba-tiba menongolkan kepalanya di celah jendela yang berada diatas kepala Sheena. Bagas memberi tatapan bertanya pada Nadya, yang langsung Nadya mengerti.

“Ngga tau, daritadi dia ngga mau ngomong,” bisik Nadya pelan, hampir tak bersuara. Namun Bagas mampu mengerti apa maksudnya.

“Tadi dia makan ngga?” Bagas bertanya tanpa suara, hanya mulut yang ia gerakkan. Nadya menggeleng. Bagas kembali membuka mulut, “Yaudah. Makasih.”

Bagas turun dari kursi yang ia naikki untuk mengintip dari jendela kelas Sheena, lalu duduk dikursi itu. Ia tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi pada Sheena. Sejak pulang dari menemaninya latihan basket, sampai sekarang, Sheena mulai berbeda. Apa mungkin karena obrolannya dengan anak cheers? Atau karena pembicaraannya yang bawa-bawa ulang tahun Kenta? Atau apa?

Bagas meraih handphone yang ia simpan di saku celana lalu mulai mengetikkan beberapa kata di dalam chat-nya. Setelah merasa tidak ada yang salah, Bagas mengirim pesan itu.

Drrt.

Sheena merasa handphone yang ia simpan di saku jaket bergetar. Dengan malas Sheena membuka jaket yang menutupi kepalanya lalu mengambil handphone yang disimpan didalamnya. Bagas?

Bgskrrrr: Nanti jadi kan beli kado buat Kenta? Tunggu di depan kelas ya

Asasheena: Kalo kamu belinya sama temen kamu aja mau ngga? Aku lagi gaenak badan.

Bgskrrrr: Kamu sakit? Mau aku temenin ke dokter?

Asasheena: Ngga, cuma agak pusing sedikit. Istirahat dirumah juga mendingan.

Bgskrrrr: Mau aku anter pulangnya?

Asasheena: Ngga usah, aku udah minta jemput kok.

Bgskrrrr: Maaf yaL

Asasheena: Buat?

Bgskrrrr: I’m really sorry for everything. I love you

Asasheena: I don’t know what do u mean.

Bgskrrrr: Tinggal jawab love you too aja si;p

Asasheena: Mo bgt?

Bgskrrrr: Mau:*

Asasheena: L y t~

Bgskrrrr: Apasih gajelas alay banget

Asasheena: Itu kata kata aku tau gas, galucu ah copas

Bgskrrrr: Makanya bilang dulu

Asasheena: Yang mana?

“Yang tadi sih,” Bagas memunculkan kembali kepalanya dari balik celah jendela, tak hanya membuat Sheena kaget, tapi ketiga temannya yang lain juga. Untungnya kelas lagi bener-bener gaduh.

“Apaan sih.”

“Oh iya bentar-bentar,” Bagas turun dari kursinya lalu berlari secepat mungkin ke UKS untuk mengambil obat. Setelah menemukan obat yang dimaksud, Bagas kembali menaiki kursi dan memunculkan kembali kepalanya di celah jendela kelas Sheena.

“Nih nih, minum obatnya, supaya ngga pusing. Kamu ada minum, kan?”

Sheena tersenyum, mengangguk setelah menerima obat yang Bagas berikan, “Emang ngga ada guru? Kok diluar sih?”

“Hei, ngapain kamu naik-naik kursi? Kamu … BAGAS! Kembali ke kelas! Ibu kan sudah memberi catatan tadi, memangnya kamu sudah selesai?!” Bagas langsung berlari masuk ke kelas saat guru yang seharusnya sedang mengajar dikelas memergokinya naik keatas kursi.

Sheena dan ketiga temannya tertawa mendengar suara galak guru Kimia itu. Sheena membuka plastik yang membungkus obat itu dan menelannya dengan bantuan air mineral yang ia simpan di tas.

“Emang kayaknya cuma Bagas sih ya yang dibutuhin sekarang. Kita berbusa juga ngga bakal diladenin, orang maunya Bagas yang ngajak ngomong duluan,” kata Wulan setelah Sheena selesai meminum obatnya. Sheena menoleh pada Wulan dengan senyum manisnya, lalu tertawa kecil.

************

Thanks for reading!{}

How Can I Move On?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang