Twelve

5.5K 228 0
                                    

Sepanjang istirahat kali ini Kenta sama sekali tidak melihat Sheena di kantin. Biasanya walaupun tidak makan di kantin tapi Sheena akan sekedar membeli minum atau camilan lain untuk di kelas. Itu sudah kebiasaannya sejak dulu. Kenta juga tidak melihat batang hidung ketiga teman Sheena yang biasa menemaninya.

“Cie Della, hari ini mepet banget sama Kenta.” Ledek salah satu anak perempuan yang merupakan anak cheers saat melewati meja Kenta dan Della. Mungkin karena Kenta yang sejak tadi memainkan ujung rambut Della. Iseng.

Della hanya tersipu malu sambil melanjutkan makannya, sedangkan Kenta hanya tersenyum tipis sambil memerhatikan lapangan basket yang penuh dengan murid-murid. Ada apa, ya?

“Kenta! Sini!” Dari kejauhan, Kenta bisa melihat Diko yang melambai-lambai dari lapangan basket padanya. Teriakkannya juga mampu membuat Della menoleh. Kenta mengerutkan kening bingung.

“Samperin dulu sana,” kata Della. Baru Kenta mau menolak, Sassie datang dengan makanannya, “Aku sama Sassie. Udah samperin dulu.”

“Iyaudah. Bentar ya,” kata Kenta sambil mengacak puncak kepala Della dan berjalan keluar dari kantin, mendekati Diko yang berada dipinggir lapangan basket. Diko mengarahkan matanya ke tengah-tengah lapangan, tempat para murid yang dikenalnya kelas sepuluh sedang berkerumun.

“Ada apaan sih?” Tanya Kenta tak mengerti. Diko menarik tangan Kenta untuk membelah kerumunan. Jantungnya berdetak lebih cepat saat melihat apa yang ada di hadapannya.

*****

 “Kayaknya gue nitip salam dari lo aja, ya? Gue males dateng ke ulang tahunnya Della, Ken. Jam sepuluh ada bola soalnya,” kata Diko yang sedang berbaring asal ditengah-tengah tempat tidur Kenta. Kenta, yang sedang duduk diatas kursi bantal hanya terdiam sambil terus memandang melewati jendela. Menatap langit.

“Ken?”

Kenta tetap tak menjawab.

“KENTA!”

Kenta menoleh dengan malas. Sebenarnya ia mendengar apa yang diucapkan Diko sejak tadi, namun kalimat-kalimat itu terasa seperti angin untuknya. Ia terlalu malas untuk menjawab atau sekedar memikirkannya.

“Masih kepikiran yang tadi?” Tanya Diko, membuat Kenta kembali mengingat kejadian tadi, yang membuat organ tubuhnya melemas, bahkan tubuhnya tak mendukung untuk mengantarnya ke kamar mandi.

Kenta melihat dengan mata kepalanya sendiri, Sheena menerima tangkai bunga yang diberikan Bagas. Bagas yang sebelumnya masih berlutut dihadapan Sheena langsung berdiri dan memeluk perempuan itu erat-erat. Kenta tersenyum miris. Sheena melihatnya, ia tahu itu, karena Kenta berdiri tepat dibelakang Bagas yang sebelumnya sedang berlutut.

“KALIAN DENGER KAN? SHEENA NERIMA GUE! So, mulai hari ini, tanggal 25 April ini, merupakan hari jadi gue sama Asasheena Putri,” seru Bagas kesenangan sambil memeluk bahu Sheena dari belakang dengan erat.

Terasa seperti dihempaskan dengan keras dari bulan. Kenta tak bisa berkata-kata, bahkan tak bisa mengikuti Diko yang dengan fake smile-nya mengucapkan selamat pada Sheena. Sheena, bukan Bagas.

Kenta mundur dengan teratur, membiarkan kedua pasangan baru yang amat berbahagia itu membalas ucapan selamat dari murid lain. Ia tak kembali ke kantin untuk menemui Della, melainkan berjalan ke halaman belakang sekolah.

“AAAAAAAARRRRRGGHHHHHHH!!!”

Dengan kasar Kenta menendang-nendang bebatuan kecil yang ada disekitarnya. Kepalanya berdenyut, rasanya terlalu sulit menerima kenyataan ini. Kenapa harus didepan matanya? Kenapa? Dan kenapa saat ia datang Sheena baru menerimanya? Kenapa? Sengaja? Agar ia merasa sakit? Kalau memang benar, Sheena sukses membuatnya benar-benar gila.

“Gue ngelakuin ini supaya kita sama-sama ngelupain, Ta. Gue bakalan coba buat sayang sama Bagas, dan lo juga harus gitu sama Della,” sebuah suara yang amat dikenalnya terngiang dipendengarannya. Kenta menoleh dengan gugup, menemukan Sheena yang berdiri tepat dibelakangnya, dengan tangan kanan yang masih memegang mawar merah pemberian Bagas.

“Tapi kenapa harus Bagas? Lo ngga kenal dia, lo ngga tau gimana dia, lo salah orang. Gue ngga mau lo sakit hati karena dia,”

Sheena tersenyum, “Gue udah gede, Ta. Gue bisa kok jaga diri, apalagi hati. Kan gue masih dalam tahap mencoba, kalo emang akhirnya gue ngga cocok, ya gue putusin.”

“Tapi—“

“Jangan bikin Della sedih lagi, buat hari ini jadi hari paling istimewa bagi dia. Balik ke kantin, temuin. Dia nungguin lo.” Sheena menepuk bahu kanan Kenta dengan tangan bebasnya, tersenyum, lalu berjalan meninggalkan Kenta yang tetap berdiam diri di tengah-tengah halaman.

Ia takkan sanggup.

“BUSET KENTA ITU HAPE LO BUNYI!” Diko berteriak dengan lantangnya, membuat Kenta tersadar dari lamunannya dan langsung mengambil handphone yang ia taruh diatas nakas. Bagas.

Dengan malas, Kenta mengangkat telepon dari Bagas, “Apa.”

“Wih, kalem dong. Ngga biasanya lo jutek gitu, Ta.”

“Langsung aja, ada apaan?”

“Gue cuma mau konsultasi, kira-kira Sheena tuh suka cowok yang gimana sih? Gue ngga mau keliatan jelek dimata Sheena nih. Apalagi malem ini kan gue bakalan jemput Sheena dirumahnya.”

“Emang lo mau kemana?”

“Dateng ke ulang tahun cewek lo lah.”

Tanpa sadar, Kenta mengepalkan tangan hingga buku-buku jarinya memutih dengan sempurna. Diko yang melihatnya langsung mengerti, siapa yang menelepon.

“Sheena ngga suka cowok yang modus, lebay, pamer kemesraan, alay, dan sok ganteng kayak lo.”

“Terus gue harus gimana? Kayak lo gitu? Hahaha.”

“Shut up.”

“Okay okay, Sheena suka dikasih bunga, kan?”

“Bunga tertentu. Bukan mawar merah yang pasti.”

“Demi apa? Jelas-jelas tadi dia nerima bunga mawar dari gue. Lucu lo ah.”

“Terserah lo.”

Sambungan diputus secara sepihak oleh Kenta saking kesalnya. Ia langsung membanting handphone dalam genggamannya ke atas karpet tanpa peduli apa yang akan terjadi. Diko hanya diam sambil terus memejamkan matanya. Kenta bukan tipe anak yang bisa di bujuk, jika sedang marah, ia akan benar-benar galak. Ngga ada yang bisa mengurangi kadar kemarahannya, walaupun Sheena sekalipun.

How Can I Move On?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang