Bab 29 - Menata Ulang Segalanya

Start from the beginning
                                    

"Raf bingung bagaimana harus bicara dengan Rae, Pak," keluh Raf. Selama ini dia selalu berusaha menyimpan masalahnya dengan Rae sendirian. Sekali pun Raf tidak pernah menceritakan apapun kepada orangtua Rae atau orangtuanya. "Raf nggak mau menekan Rae. Raf paham bagaimana sulitnya Rae menerima keadaannya yang sekarang. Raf ingin menanggung juga beban Rae, menenangkannya, dan meyakinkan Rae bahwa semuanya akan baik-baik saja kalau kita mau mencoba bersama-sama. Tapi, Rae berkata kalau Raf nggak paham apa yang dia rasakan dan Rae malah meminta waktu untuk sendiri."

Tio mengamati putranya itu sambil mengangguk-ngangguk kecil.

"Kadang, Raf seperti nggak mengenali sosok istri Raf sendiri, Pak," ujar Raf setengah putus asa.

"Di waktu-waktu tertentu, Bapak juga kadang-kadang nggak mengenal sosok ibumu, Raf," aku Tio. Raf langsung menatap ayahnya. Dilihatnya ekspresi wajah Tio yang juga seperti menanggung beban. "Ikatan pernikahan nggak menjamin kita benar-benar mengenal orang yang berada satu atap dengan kita, Raf. Butuh waktu yang cukup lama sampai kita mengenal pasangan kita seperti halnya kita mengenal diri kita sendiri."

Raf mengangguk setuju. Ia mulai berpikir bahwa mungkin ia memang belum mengenal Rae karena pernikahan mereka yang bahkan usianya belum genap dua tahun. Masih banyak sisi dari Rae yang belum ia ketahui seperti halnya sisi dari dirinya sendiri yang belum ia tunjukkan.

"Sejatinya, yang paham dengan perasaan kita hanyalah diri kita sendiri, Raf. Termasuk keluarga, sahabat, bahkan istri atau suami kita." Tio berkata dengan nada yang santun serta bijaksana. Raf selalu senang mendengar Tio yang jarang berbicara, namun mampu mengeluarkan kata-kata yang menenangkan saat suasana di sekitarnya sedang membutuhkan. "Orang lain hanya berempati. Keadaan di mana ia merasa atau mengindentifikasi dirinya dalam keadaan yang sama seperti orang yang dilihat atau dikenalnya. Tapi, apakah perasaannya benar-bentar sama? Tentu berbeda, Raf. Jika kamu melihat orang terkena api, tentu kamu merasa ngeri sekaligus merasa bahwa rasanya pasti panas dan akan mengakibatkan lepuhan yang menyakitkan. Tapi yang benar-benar panas dan terkena lepuhan itu adalah orang yang terkena api tadi. Kita hanya melihat, ikut merasakan, tapi nggak benar-benar paham bagaimana rasa yang sebenarnya."

Raf mengangguk. Ia paham apa maksud ucapan Tio.

"Itu juga yang terjadi dengan Rae. Rasa sakit yang istrimu rasakan karena kematian Ibunya, keguguran, serta pernyataan dokter bahwa ia tidak bisa hamil lagi tentu berbeda dengan rasa sakit yang kamu rasakan. Dalam hal ini, Rae yang lebih merasa sakit. Ditambah, ia adalah seorang perempuan. Tentu cara dia menyikapi permasalahan ini berbeda dengan kamu yang laki-laki."

"Raf harus gimana, Pak?"

"Komunikasi, Raf," jawab Tio. "Coba kamu komunikasikan lagi dengan Rae. Dengar apa yang dia inginkan. Utarakan juga apa yang kamu inginkan. Cari alternatif jalan atas permasalahan kalian berdua. Jangan pernah sepelekan komunikasi, Raf. Rumah tangga yang baik adalah yang dibangun oleh komunikasi yang baik."

Raf mengangguk pelan. Setidaknya, ia menjadi tahu apa yang harus ia lakukan.

Keesokan harinya selepas sarapan bersama, sama seperti hari-hari sebelumnya, Rae langsung masuk ke kamar. Raf berkali-kali menenangkan dirinya. Ia harus berbicara dengan Rae sekali lagi. Sejak semalam, Raf sudah memilih diksi yang akan ia pakai untuk berkomunikasi dengan Rae.

Baik. Dengarkan apa yang Rae inginkan kemudian utarakan apa yang aku inginkan. Setelah itu, kita sama-sama sepakat pada hal-hal yang sebenarnya kami butuhkan. Raf mengulang kalimat itu berkali-kali di dalam hati.

Menarik napas, Raf memasuki kamar. Raf terlihat sedang membereskan pakaian di lemari. Ketika ia melihat Raf masuk, Rae hanya menoleh sejenak kemudian melanjutkan aktivitasnya.

Pemberhentian Terakhir [Published]Where stories live. Discover now