21

4.7K 234 6
                                    

Teriknya mentari tak membuat pemuda itu patah semangat untuk mencapai tujuannya agar dapat berkomunikasi bersama keluarganya.

Sungguh kerinduan yang amat sangat, walaupun ia sering berpergian jauh. Akan tetapi keadaan ini berbeda dan membuat perasaannya membuncah akan kerinduan.

Setelah tiba di sana, ia segera berlari ke arah telepon umum itu berada.

"Bersabarlah nak, semua akan terbayar nanti." Pak Zied menenangkan pemuda yang sangat antusias itu.

Pemuda itu menghirup udara dan menghembuskan nafasnya secara perlahan agar dirinya dapat tenang.

Dia mendekati telepon itu berada yang tinggal berjarak satu meter dari posisinya. Setelahnya, ia mengambil telepon itu dan mengetik nomor ponsel keluarganya.

"Ngh, bismillah semoga terhubung."

Tut....tut....

"Halo," sahutan dari telepon.

Deg!

Mendegar sahutan dari telepon, membuat jantungnya berdetak lebih cepat.

"Halo. Assalamualaikum, Ma." Sahutnya dengan suara bergetar sarat kerinduan.

Tak ada sahutan dari sana, dia pun mulai panik. "Halo Ma, masih tersambungkah?"

"De—Devan," suara yang terdengar bergetar.

Devan tersenyum senang. "I–iya ma, ini Devan. Devan selamat Ma, alhamdulillah Devan masih diizinkan untuk meliht dunia ini lagi."

Devan menengadahkan kepalanya untuk menahan cairan yang hendak keluar dari kelopak matanya.

"K–ka–mu dimana Dev?" tanya Dyan sambil sesenggukkan.

Devan meraup udara sebanyak-banyaknya agar dadanya tidak terasa sesak. "Aku terdampar di pulau terpencil Ma,"

"Kamu ada di mana Dev? Nanti Mama bilang sama Papa suruh jemput kamu di sana! Tapi kamu gak kenapa-napakan Dev?" tanya Dyan sedikit panik.

Devan tersenyum mendengar kepanikan ibunya. "Mama tenang dulu, jangan panik gitu. Devan di sini baik-baik aja, orang-orang di sini sangat ramah. Jadi, Mama gak perlu khawatir. Devan sekarang lagi berada di Pulau Sudong. Hmm, masih masuk wilayah negara Singapura, Ma."

"Okay, Mama sama Papa beserta yang lain akan jemput kamu."

"Iya Ma, ya udah aku tutup ya teleponnya." Ucap Devan tenang.

"Iya, kamu jaga diri kamu baik-baik disana. Tunggu kami ya,"

"Iya Ma, assalamualaikum."

"Waalaikumsalam,"

Tut...

Devan menaruh kembali telepon umum itu, kemudian membalikan badannya.

"Gimana? Sudah tenang?" tanya Pak Zied ketika melihat Devan mematikan sambungan teleponnya.

Devan tersenyum senang. "Iya Pak, alhamdulillah. Saya sangat tenang sekali, terima kasih atas bantuannya."

"Tidak perlu berterima kasih, Nak. Kamu sudah saya anggap sebagai anak saya sendiri. Jadi apapun yang kamu butuhkan, pasti akan saya bantu sebisa mungkin."

"Baiklah, mari kita pulang. Hari sudah mulai petang." sambung Pak Zied.

Devan menganggukan kepala lalu menyusul Pak Zied yang sedang mendorong sepedanya. Ya, Devan dan Pak Zied menggunakan sepeda sebagai sarana transportasi mereka untuk sampai ke sini. Karena keluarga Pak Zied yang sangat pas-pasan, maka dari itu mereka menaiki sepeda.

PRINCE PILOT [END]Where stories live. Discover now