Chapter 26

7.8K 662 40
                                    


Irene masuk ke dalam dorm. Ia melepas sepatunya dan melepas ikatan rambutnya. "Aku pulang," katanya masih sibuk membetulkan rambutnya.

"Hai."

Irene menoleh. Ia melihat sosok laki-laki yang ia menciumnya kemarin. Duduk manis dengan wajah tidak bersalahnya. Dan Irene sangat benci itu.

Irene melotot. Tangannya bergetar ketakutan. Ia takut semua kejadian kemarin akan terulang lagi hari ini.

"A-Ada apa?" tanya Irene memundurkan langkahnya menjauh. Bo Gum tersenyum miring. "Kau takut aku akan menciummu lagi disini?" goda Bo Gum dengan suara setengah berbisik.

"K-Kenapa kamu bisa m-masuk sini?"

"Menurutmu?"

Bo Gum berjalan mendekat. Irene kembali memundurkan langkahnya hingga punggungnya menyentuh pintu kamar. Bibirnya bergetar. Ia perlahan membuka pintu kamarnya.

"Hahahaha. Tenanglah cantik."

Bo Gum tertawa renyah. Irene mengerutkan dahi. "Aku tidak akan mencium bibir manismu,kok." Mendengarnya, Irene bergidik geli.

"Lalu apa? Apa perlumu kesini?" tanya Irene ketus. Bo Gum merapikan rambutnya,menunduk lalu mendongak lagi dengan senyuman yang.. ah. lupakan.

"Tentu saja memaksamu lagi untuk menjadi pacar pura-puraku lagi."

Irene terbelalak. Ia kira tidak akan seperti ini. Dia benar-benar terkurung,dalam pilihan yang tak bisa keduanya ia pilih. Dilema diantara dua keputusan yang tidak perlu jawaban.

"Kau mau?" Suara Bo Gum mendadak mengerikan di telinga Irene. Irene menggigit bibir bawahnya.

"Dia tidak akan bertindak macam-macam seperti menciummu,jika kau menerimanya,kan?"

Suara Chorong terngiang-ngiang di telinganya. Ia benar-benar tidak ingin melakukan itu. Ia tidak mau bibirnya dicium oleh lelaki seperti Bo Gum.

"Irene-ssi? Mau?"

Irene menunduk dalam. Ia berusaha mengontrol napasnya yang menderu habis-habisan. Menelan ludah lalu mengangkat kepalanya.

"Berikan satu alasan kenapa aku harus menjadi pacar pura-puramu?"

Bo Gum tertawa kecil. "Karena aku ingin menghancurkan seseorang."

Irene mengerutkan dahinya lagi. "Hah? M-Menghancurkan? M-Maksudnya?"

Bo Gum berjalan pelan ke arah Irene dengan kedua tangan di belakang tubuh. "Kau akan mengetahuinya jika kamu mau menjadi pacar pura-puraku," katanya memaksa.

Irene sudah tidak tahu lagi harus berbuat apa ketika menyadari wajahnya sudah berada 3 senti di depan wajah Bo Gum.

"Aku mau."

Bo Gum memundurkan wajahnya lalu tersenyum licik. Menyentuh dagu Irene sekilas lalu berjalan ke arah pintu dorm. "Mulai besok kita berpacaran."

"S-Sampai kapan?"

"Sampai aku menyuruhmu berhenti."

***************

Suho berjalan pelan di pinggiran jalan. Ia baru saja menyelesaikan kuliahnya hari ini. Ia memakai kacamata lensanya yang membuatnya terlihat semakin dewasa.

KRING!

Tangannya merogoh saku coatnya lalu menatap layar ponselnya. Nomor telepon Korea.

"Panggilan internasional?" batin Suho setelah menekan tombol hijau di ponselnya.

"H-Halo?"

"Suho-ssi?"

"Iya. Siapa?"

"Kalau aku menyebutkan namaku,percuma saja. Kamu tidak akan mengenalku."

"Lalu.. Ada perlu denganku?"

"Irene menyuruhku untuk menyampaikan ini padamu."

"Apa?"

"Dia baru saja berpacaran dengan orang lain. Berhenti menghubunginya."

"A-Apa? Aku t-tidak mengerti."

"Berhenti menghubungi Irene. Dia sudah punya pacar."

"T-Tapi siapa?"

"Liat berita korea saat ini. Kututup."

Telepon diputus. Suho menghentikan langkahnya lalu membuka berita korea. Benar saja. Apa yang dikatakan seorang gadis ditelepon itu benar. Ini bukan rekayasa. Bukan mimpi. Ini nyata. Realita yang tidak bisa ia hindari meskipun dengan cara apapun.

Baru beberapa bulan yang lalu,gadis itu memeluknya dan mengatakan maaf kan? Baru beberapa hari yang lalu pula,gadis itu meneleponnya. Menanyakan kabar. Merakit kembali harapan yang sempat hancur.

Tapi ia benar-benar kembali merusaknya setelah memberikan sebuah harapan sempurna kepada Suho. Apa karena Suho yang terlalu berharap? Atau Irene yang jahat?

Suho memasuki sebuah kafe dekat apartemennya. Duduk di ujung kafe dengan kaca besar disampingnya. Ia kembali membaca artikel itu. Masih tidak percaya dengan semuanya.

Suho menekan tombol telepon pada kontak Irene yang baru saja ia buka. Ia menunggu tanda telepon diangkat oleh gadis di sebrang sana.

Tidak ada jawaban. Baiklah. Sudah lampu merah untuknya. Bukan lampu merah. Lampu itu sudah mati. Tidak ada harapan lagi untuknya. Dan mungkin tidak akan lagi.





haiii sorrryy lama bangett ya updatenyaa huhuhu:( makasih yang setia vomment walau aku menyadari makin kesini makin dikit aja yg baca sm komennya:( tapi terimakasih untuk segala supportnya! maaf kalau ceritanya makin ngawur ya guys:(

tinggalkan jejak ya jangan baca aja😘

✔️the leader ; irene + suhoWhere stories live. Discover now