Bab 21 - Pelesir Turki

Start from the beginning
                                    

"Gimana Turki menurut kamu?" Raf bertanya dengan suara yang sedikit berat. Laki-laki itu masih mengumpulkan kesadarannya sampai penuh.

"Indah banget. Aku suka!"

"Dari sembilan kota dan beberapa tempat yang sudah kita datangi, favorit kamu yang mana?"

Rae terdiam sejenak. Ingatannya kembali saat mereka berdua bepergian ke sembilan kota yang memang sudah ada dalam rencana perjalanan mereka. Raf dan Rae menikmati satu kota selama dua sampai tiga hari. Di satu kota itu, mereka mengunjungi beberapa tempat wisata dan masjid yang cukup ramai dan memang sering didatangi oleh para turis. Bicara soal masjid, tentu Rae tidak akan lupa bagaimana jantungnya memacu lebih cepat dan matanya sampai meneteskan air mata saat mereka mengunjungi Hagia Sophia di hari kedua. Dulu bangunan itu adalah sebuah gereja yang kemudian berubah menjadi masjid. Saat ini, Hagia Sophia telah menjadi museum yang mendokumentasikan sejarah Turki.

"Hagia Sophia ... dan senja di Jembatan Galata," balas Rae pelan. Raf memeluknya lebih erat. Tangan perempuan itu juga melingkar sempurna di badan Raf. Perasaan haru dan bahagianya kembali hadir saat mengingat percakapannya dengan Raf ketika mereka mengamati bagunan kokoh Hagia Sophia.

Raf yang saat itu memandang langit-langit museum berdecak kagum. "Aku ingin yang seperti ini ada di Indonesia," ujar Raf pelan. "Satuuuuu aja. Tapi, letaknya di dekat rumah kita."

Rae tertawa. Bagi Raf dan Rae, Hagia Sophia bukan hanya sekadar museum yang menyimpan sejarah peradaban Islam. Bangunan itu memiliki arti lain. Rae mulai menyukai sejarah peradaban Islam justru dimulai dari sejarah penaklukan Konstantinopel, bukan penaklukan kota-kota lain yang dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabat. Sementara Raf, laki-laki itu mulai menyukai Turki semenjak mempelajari Kekaisaran Ottoman serta sebab-sebab runtuhnya peradaban Islam yang telah berjaya selama empat belas abad di sana.

Dan kerinduan mereka pada kejayaan Islam yang cemerlang tertuang pada visi misi pernikahan mereka.

"Aku kaget ketika baca visi pernikahan Mas di CV ta'aruf," kata Rae saat mereka berkeliling di dalam Hagia Sophia. "Tapi senang juga. Sebenarnya agak nggak percaya. Kok bisa hampir sama dengan visi pernikahan aku? Terus setelah aku pikir-pikir lagi, sepertinya dari situlah aku sudah klik sama Mas."

Raf tersenyum kecil sambil merangkul Rae. "Aku juga nggak menyangka kalau kamu punya visi pernikahan yang sama seperti aku. Aku langsung ingat kisah orang tuanya Salahuddin Al Ayyubi. Kedua orang tuanya sama-sama mencari kriteria pasangan yang sama. Yaitu pasangan yang darinya mereka punya keturunan yang kelak bisa menaklukan kembali Baitul Maqdis. Dan Baitul Maqdis itu benar-benar takluk dari keturunan mereka."

Rae mengangguk. Ia juga tahu kisah itu. "Kalau kita ... bisa nggak ya?" tanya Rae ragu. "Maksudku tuh, gimana ya, Mas? Kayak ... mungkin nggak sih? Soal punya keturunan yang bisa menjemput bisyarah Rasulullah dengan menjadi penakluk Roma ... terlalu muluk nggak?"

Masih terekam dengan sangat jelas dalam ingatan Rae bahwa saat ia menanyakan hal itu kepada Raf, Raf hanya tersenyum, mengeratkan genggamannya, kemudian berjalan ke sisi lain Hagia Sophia. Setelah selesai dan keluar, Raf mengajak Rae duduk di salah satu kursi yang berada di Galata Bridge. Jembatan itu memiliki pemandangan yang luar biasa. Dari sana, Raf dan Rae bisa melihat dua sisi dari dua benua—Asia dan Eropa—yang menyatu. Beberapa bangunan tua yang indah terlihat. Menara-menara masjid yang menjulang tinggi, rumah-rumah khas Turki, dan juga pemandangan Hagia Sophia, Blue Mosque, dan Topkapi Palace bisa terlihat dari jembatan ini. Jembatan ini terdiri atas dua tingkat. Di bawah, berjejer kafe dengan berbagai jenis makanan. Sementara itu, di atas mobil, motor, dan pejalan kaki dapat menggunakannya untuk menyebrang lautan.

Pemberhentian Terakhir [Published]Where stories live. Discover now