Bab 23 - Kabar Kehadiran Al-Fatih Kedua

Start from the beginning
                                    

"Rihlah yang dekat-dekat aja yuk, Ra?" ajak Raf setelah ia menyelesaikan sarapannya.

"Uangnya cukup?"

Raf mengangguk. "Tapi nggak akan selama seperti kita di Turki. Paling cukup untuk beberapa hari aja. Nggak apa-apa?"

Rae mengangguk dan tersenyum. "Yang penting sama kamu."

Raf balas tersenyum. Ia memegang telapak tangan Rae kemudian menggenggamnya dengan erat. Mata Raf teralihkan ke piring Rae yang masih penuh dengan makanan.

"Kok nggak habis?"

"Nggak nafsu makan," balas Rae. "Aku ngerasa mual terus beberapa hari terakhir ini."

Raf mengernyit. Setelah ia ingat-ingat, seminggu kebelakang ini nafsu makan Rae menurun drastis. Perempuan itu tidak lagi memesan makanan atau camilan sebelum Raf pulang. Jika makan bersama, Rae juga hanya mengambil porsi yang sedikit.

Tangan Raf terulur memegang kening Rae. "Kamu sakit?" tanya Raf sedikit khawatir.

"Enggak sih, Mas. Cuma lagi nggak nafsu makan aja. Makanan Jerman nggak cocok di lidah aku."

Raf makin menyernyit. Baru saja ia ingin bertanya lagi, Rae sudah berdiri dan menuju kamar mandi sambil menutup mulut dengan tangannya. Perempuan itu kembali mual. Raf bangkit dengan rasa cemas.

"Ra?" Raf memanggil Rae. Ia melihat istrinya berdiri di depan wastafel sambil dengan mata memerah dan tangan di letakkan di perut. Raf buru-buru masuk. Laki-laki itu mengusap pelan bahu Rae. "Ra? Kamu kenapa?"

"Mual. Kepengin muntah tapi nggak keluar apa-apa. Aku nggak nafsu makan."

Rae membalikkan tubuhnya ke arah Raf. Dari sorotan matanya Rae tahu bahwa Raf sangat khawatir. "Ayo periksa ke dokter."

"Nggak usah—"

"Aku takut kamu kenapa-napa," balas Raf. "Kamu nggak biasa sakit. Dan kamu nggak biasa nggak nafsu makan."

Rae terkekeh pelan.

"Tuh, pipi kamu sudah mulai kempes," ujar Raf sambil menangkup kedua pipi Rae. "Kita berangkat sekarang. Ayo siap-siap."

Rae tidak punya kesempatan untuk menolak. Mereka berdua langsung pergi ke rumah sakit terdekat di sekitar apartemen Raf. Setelah melakukan serangkaian pemeriksaan, Raf dan Rae duduk berhadap di meja dokter perempuan bernama Adelaide. Rae lebih banyak diam karena ia belum menguasai bahasa Jerman. Dokter Adelaide menunjukkan hasil pemeriksaan yang tertera dalam monitornya.

"Istri Anda hamil, Mr. Kavindra," ujar Dokter Adelaide sambil menunjukkan gumpalan sebesar stoberi yang merupakan janin pada rahim Rae. Raf terdiam beberapa detik. Matanya memandang haru gumpalan kecil yang nantinya akan membesar dan merupakan titik awal sebuah kehidupan. "Mr. Kanvindra?"

"Ya, Dokter!" balas Raf penuh semangat. Rae hanya mengamati pembicaraan Raf dengan sang dokter dengan kernyitan di keningnya.

"Istri saya benar-benar hamil, Dok?"

Dokter Adelaide tesenyum dan mengangguk. "Usia kehamilannya sudah delapan minggu," katanya menjelaskan.

"Alhamdulilah...." Raf mengusap wajahnya berkali-kali kemudian memandang Rae.

"Kenapa sih, Mas? Aku sakit kok kamu malah alhamdulillah?"

Raf terkekeh. Ia tidak menjawab apa-apa dan malah mengelus pelan perut Rae yang memang sudah sedikit berisi.

"Ih ada apa sih? Tuh, kok kamu malah nangis sambil pegang-pegang perut aku? Aku sakit parah ya? Kanker? Harus kemoterapi? Umurku nggak lama lagi?"

"Enggak, Ra! Enggak! Kamu sehat," kata Raf pelan. "Sangat sehat sampai ada bayi yang sekarang tinggal di perut kamu."

Mata Rae membelak. "Se-serius?!" Rae bertanya setengah tidak percaya. "Aku hamil? Kok bisa?!"

Raf terkekeh. "Aku sejago itu dalam beraksi dan kamu masih nanya 'kok bisa'?"

"Ih Mas Raf!" tukas Rae sambil tersenyum. Ia ikut memegang perutnya. Tiba-tiba saja Rae merasakan matanya berkaca-kaca. Ia benar-benar merasa terharu sekaligus bahagia karena apa yang selama ini diharapkannya telah tiba.

"Tapi Mr. Kavindra, ada hal lain yang perlu saya jelaskan," kata Dokter Adelaide. Pandangan Raf kembali ke layar monitor. Masih dengan sisa senyumnya yang mengembang ia menatap monitor itu dengan antusias. "Ada kista pada rahim istri Anda."

Senyum Raf perlahan memudar. Rae menangkap ekspresi Raf yang berubah dengan bingung. "Kenapa?"

Raf menggeleng pelan, mulutnya tiba-tiba sulit memberikan jawaban.

"Jenis kista yang ada pada rahim istri Anda adalah kista denoma ovarii serosum. Anda bisa melihat gumpalan ini?" tanya Dokter Adelaide sambil menunjuk gumpulan lain yang tertera pada layar monitor. "Ini ada kista. Jenis kista ini cukup berbahaya karena bisa menjadi ganas dan mengakibatkan kanker. Isinya berupa cairan berwarna kuning kunyit. Saya tidak ingin mengatakan hal ini, tapi ... kista ini sangat berpotensi pecah karena berada dalam indung telur. Hormon estrogen yang meningkat saat kehamilan bisa memicu pertumbuhan kista semakin membesar."

Raf benar-benar tidak bisa berkata apapun. Laki-laki itu tercekat. Baru saja beberapa detik yang lalu ia merasa bahagia, tapi saat ini perasaan bahagia itu lenyap seketika—digantikan oleh perasaan cemas, khawatir, serta takut.

"Bayi dalam kandungan istri saya bagaimana, Dok?"

Dokter Adelaide tersenyum pelan. "Bayinya baik-baik saja. Hanya saja pertumbuhan janin yang membesar akan mendesak kista dan membuat tangkainya terpuntir. Jika kista ini pecah—"

"Baik, baik, bagaimana cara agar bayi dan istri saya bisa tetap sehat dan baik-baik saja?" potong Raf sebelum Dokter Adelaide melanjutkan penjelasan yang membuatnya semakin takut.

"Di usia kehamilan enam belas minggu, kita harus melakukan operasi pengangkatan kista, Mr. Kavindra."

Pemberhentian Terakhir [Published]Where stories live. Discover now