Tiba-tiba pintu ruangan terbuka perlahan… seseorang sudah sejak lama ada di balik pintu di luar ruangan Monica dan mendengarkan semuanya…

Hega masuk menyundul pintu untuk terdorong lebih membuka, dengan kursi rodanya…

            “ga?” Mira dan Monica mengerenyitkan dahi bersamaan.

            “Kamu berhenti dari sini,,, senin besok? Gak bareng saya di bulan besok, Mir?”, tanya Hega langsung. Sinar matanya meredup lunglai...

Mira menarik nafas dan menghelanya perlahan. Ia dan Monica saling melepaskan pelukan mereka. Monica merunduk, cepat-cepat menyeka wajahnya dengan sapu tangan.

            “Kamu sendirian ke sini, ga?” Mira balik bertanya. Ia enggan menjawab.

Hega menggeleng. “Dokter Dion anter saya tadi… tapi denger Ibu tadi…” Hega menoleh ke belakang, memastikan apakah Dion benar-benar sudah beranjak pergi untuk menghindar sementara waktu, di saat tangisan Monica terdengar menembus dinding gypsum hingga ke luar ruangan. “Bu…”, kata Hega kemudian dengan cepat. “Saya baru ngeh… kalo Ibu adalah istrinya Ryan Suwandi…”

Monica tampak terperanjat. “Kamu… kamu kenal Ryan?”

            “Ryan dan Rika satu kantor dengan saya, Bu…”, sahut Hega. Raut wajahnya berubah tak nyaman. Tapi Hega tetap memilih diam di posisinya.

Wajah Monica langsung merunduk. “Waduh… jadi kamu tau semuanya, ya…” rautnya juga berubah tak nyaman. Ada kecanggungan menyeruak di tengah-tengah keheningan mereka...

Hega tak menggubris raut Monica yang tampak malu. Ia langsung saja menyampaikan sesuatu yang Monica perlu tahu… “Bu… saya yang anter Ryan ke rumah karna… dia sempet sa,-“ Hega mengurungkan niatnya untuk berterus terang kalau saat itu Ryan sedang sakau berat. “Sakit", kata Hega akhirnya, "Ryan sakit. Saya yang anter ke rumah… Ryan memang terduduk di sofa waktu dia koma lalu…" Hega sempat terdiam sesaat. Tapi ia meneruskan kembali, "Saya gak tau… saya pikir dia tidur… jadi saya pindahin ke kamar… Saya gak tau apa dia ngomong sesuatu… tapi dia emang sempet ngelirik ke foto Ibu dan anak-anak saat duduk di sofa waktu itu… dan matanya… saya bisa rasa’in… dia merasa kehilangan…” Hega menghela nafas dengan cepat, merasa lega. “Maaf, Bu… saya gak bisa sampe’in persis yang ibu mau tau… saya cuma tau segitu… mimpi ibu… sebagian ada yang memang begitu kejadiannya… maap, bu… saya minta maap…”, kata Hega lagi mengakhiri penuturannya. Ia tak tahu apakah ia sudah cukup melakukan sesuatu yang bisa membuat Monica sepenuhnya merasa lega...

Monica langsung kembali dengan ledakan tangisannya. Tapi kali ini dengan bibir yang berusaha tersenyum. “Ma kasih, Hega… saya lega… ma kasih… saya lega… Jadi dia masih merindukan saya dan anak-anak…” Monica terus menyambung perkataannya yang timbul-tenggelam dengan isakan yang menyayat hati. “Saya sekarang tenang… saya tau dia pulang ke tempat yang sama dengan tempat di mana nanti saya juga akan berpulang… saya lega… saya lega…”

Melihat bahu Monica bergetar begitu hebat,,, dan air mata sudah habis membungkus permukaan wajahnya, Mira langsung menarik kepala Monica untuk terbenam dalam pelukannya…

Hega termenung lirih sesaat. Tak pernah menyangka… mereka yang dikhianati,,, terluka sedalam itu… tapi masih pula berduka sedalam itu menangisi kepergian orang yang menyakitinya…

Hega melihat Mira yang sedang menenangkan Monica… Memperhatikan bagaimana perempuan-perempuan yang kesehariannya ini hanyalah perempuan-perempuan biasa… bagaimana mereka begitu kuat menanggung semua kesakitan ini… sementara Hega yang selama ini berlaku bagai superwoman,,, patah begitu saja dan hampir gila hanya karena orang yang tidak berhak dicintainya, meninggalkannya…

NURANIWhere stories live. Discover now