MENDENDAM...

1.8K 31 6
                                    

MENDENDAM...

            Mira berjalan perlahan ke teras yang hanya berlantaikan semen. Ia duduk perlahan di pembatas teras yang terbuat dari palang-palang kayu utuh, yang hanya diserut dan dipernis. Membuatnya terlihat natural, sederhana namun menarik bagi orang-orang perkotaan yang haus akan suasana asri. Miki mengerjakan sendiri palang-palang di tepian terasnya itu. Mira mengenal Miki sebagai perempuan yang tenang, mandiri dan tak terlalu memusingkan perkara-perkara yang tak penting. Miki selalu mensyukuri apapun yang diterimanya dalam hidup. Hampir tidak pernah mengeluh. Menerima segala yang tidak enak, segala yang tidak nyaman hanya dengan satu pikiran… “Allah punya rencana kali, ya…”. Kalau setiap hari jum'at, Miki sholat berjamah ke masjid, setiap hari minggu, Mira beribadah ke gereja. Mereka bersahabat sudah sangat lama. Miki sepertinya tak mengerti banyak hal. Ia bersikap seolah dirinya hanyalah orang bodoh. Tapi ia begitu tegar dan tenang. Malam ini… Miki mendapat ijin dari suaminya untuk menemani Mira di rumah kontrakan Miki yang ada di Sukabumi. “Mira…” Miki meletakkan tangannya di bahu Mira dengan lembut. Ia bisa merasakan bahu Mira bergetar hebat. “Lo mo cerita…?”, tanya Miki lembut dan hati-hati. Biasanya Mira akan langsung saja bercerita tentang apapun padanya. Tapi sejak Antonius berubah, Miki juga berpendapat kalau Mira juga berubah. Mira lebih tertutup. Ia bisa tertawa begitu saja seolah hidupnya baik-baik saja. Tapi di banyak malam, Mira sering murung dan melamun.

Mira masih diam. “Gak apa-apa, ki…”, sahut Mira pelan. Dengan suara lemah. Dan ia tampak begitu lemas. Tubuhnya juga seperti menggigil. Tapi tak lama kemudian, terdengar isakan tertahan dari kerongkongan Mira.

            “Kayaknya… berat, ya…” Miki duduk bersisian di samping Mira. Tapi Mira memalingkan wajahnya, menyembunyikan air matanya. Mira yang dulu, akan langsung saja menangis tersedu-sedu di depannya. Tanpa segan ataupun malu. Mira yang sekarang begitu penuh rahasia. “Lo gak mo cerita? Si Anton gimana? Dia mo nyusul kan kemari?”

Mira mengangguk lemah. “Lo inget… waktu gw bilang, apapun kesalahannya, gw tetep cinta dia?’, tanya Mira.

Miki mengangguk. “Lo slalu cinta dia, Mir… gw gak pernah, loh… nemu’in sosok istri, terlepas dari segala kelemahan lo, ya… lo tuh selalu merindu dengan laki-laki yang sama yang lo nikahin bertahun-tahun yang lalu. Lo slalu jatuh cinta dengan laki-laki yang sama itu setiap hari. Lo slalu merindu dengan laki-laki yang sama itu setiap waktu. Dan lo sekuat tenaga selalu cari dia… apapun hambatannya…. Lo ngotot. Lo begitu ngotot untuk bisa deket sama dia… gw salut lo, Mir… jujur aja, namanya berumah tangga dah lama… gw ma laki gw adem ayem bukan karna kita saling setia…” saat kalimat Miki berhenti di situ, Mira menoleh pada Miki dengan pandangan bertanya-tanya. Mata Mira tampak sembab. Miki pun meneruskan sambil tersenyum kecil… “Karena kita dah cape. Dah ngerasa tua. Dah kayak sodara aja. Cemburu juga dah gak ada. Gak sempet malah. Lo liat gw sibuk banget kan… Gw yang kayak laki-laki, dia yang kayak perempuan… gw yang cari duit, dia yang urus rumah tangga, gw yang urus usaha kontrakan gw, mikirin masa depan anak-anak gw… yaaah… lo liat sendirilah… tapi gw gak pernah terpikir ngeganti dia dengan siapapun. Yah, mang dia dah begitu dari sananya. Pasif bin vakum. Gw juga dah tau model dia kayak gimana dari gw terima lamarannya dulu.” Miki menarik nafasnya. “Gw gak berharap dia berubah bisa menyanjung gw. Membuat gw ngerasa istimewa. Gw cuma berusaha percaya hatinya aja. Meski kelakukannya… ya, itu… dia gak laku’in apa-apa… dieeeem ajaaaa…” Miki terkekeh. Mira pun mulai tersenyum. Tapi lalu kemudian Mira membuka mulut. “Lo pernah terpikir gak, ki…”, mulai Mira, “Lo setia karna gak ada waktu. Dia setia karna gak pede cari yang lain alias pasrah…?”

Miki menerawang sejenak. Ia mengangguk. “Iya, gw sadarin itu… itulah yang gw syukuri… keadaan itu menghambat gw dan dia dari ngelaku’in yang enggak-enggak terlalu jauh… namanya manusia, kalo dalam keadaan lebih, malah tambah gak puas, malah jadi macem-macem, Mir…”

NURANIWhere stories live. Discover now