MONICA DAN COYOTE

3.3K 49 0
                                    

MONICA DAN COYOTE

“Yang hitaaaaam!!!” Monica Sevina berseru dari arah ruang workshop kecilnya. Workshop itu adalah tempat kerja darurat untuk jasa on linenya selama dua tahun terakhir dalam menerima pesanan desain pakaian anak-anak. Ruangan yang juga merupakan hasil rombak ulang gudang kecil di bagian belakang rumah. Monica merombak dan menata semuanya sendiri. Sebagaimana kesehariannya yang memang lebih banyak sendiri bila tak ditemani kedua anaknya. Suaminya jarang sekali berada di rumah. Bahkan jarang pulang. Saat itu Monica masih asik bersahut-sahutan dengan kedua anaknya yang berusia 6 dan 7 tahun. Monica enggan bergerak dari tempatnya kalau ia sedang mendesain sesuatu.

            “Yang mana, maaaaa?”, Andrew si bungsu balas berseru dari arah kamar.

            “Yang hitaaaaam…” Monica mengulangi.

            “Gak adaaaa…”, Kali ini Sisca si kakak yang menyahuti.

            “Cari duluuuu!”

            “Gak ada, maaaaa!!!”, ganti Andrew menyahuti kembali. Suara kecilnya terdengar galak.

Monica menarik nafas, dalam hitungan satu-dua-tiga,,, menatap sekali lagi kepada gambar desain baju hangat yang masih setengah jadi, ia berusaha menggemingkan bokongnya untuk terangkat. Tapi berbagai konsep yang masih saja bertebaran tak terarah di pikirannya membuat bokongnya terasa lebih berat dari biasanya. Nanggung, batinnya. Tapi diletakkannya juga pensil sketsa yang sudah hampir lima jam tak lepas dari jemarinya itu saat Andrew berteriak untuk yang terakhir kalinya dengan nada kesal. Sambil melenguh panjang, Monica bangkit berdiri dengan tak sabaran.

            “Apa apa, tuh,,, di cari dulu! Jangan bilang gak ada! Gak ada!” Monica bergegas menyongsongkan tangan kurusnya, mengorek ke bagian dalam lemari buku Sisca. Dan dalam beberapa detik kemudian, tangan kurusnya menarik keluar kotak bekas kemasan arloji yang berwarna hitam. “Nih! Apa ini???” Monica menatap Sisca dan Andrew seolah ia sedang menghadapi para pekerjanya. “Ini kooootaaaakkkk…” Monica masih tak melarikan tatapannya kemanapun. Sisca dan Andrew tertegun diam di tempat. Seolah di kiri kanan mereka ada ranjau. Mereka begitu ketakutan saat Monica menyodorkan kotak itu dengan gusar ke tangan Sisca. Wajah Sisca merengut berangsur sendu. “Maap, maaa…”, lirihnya.

Monica seakan terhenyak dari tidur panjangnya. Apa yang sudah aku perbuat? Aku memperlakukan mereka seperti orang dewasa yang siap di bebat?, Monica membatin, Astaga… mereka hanya anak-anak… Kegusaran Monica mereda. Kegusaran itu terus menyelimuti sikapnya akhir – akhir ini.

            “…maapin… mama ya…”, kata Monica akhirnya sambil melurukkan dirinya-separuh berlutut, menatap kedua wajah kecil anak-anaknya itu… Ia ingin menjelaskan banyak hal… tapi yang keluar hanya keheningan. Ia tak mampu membagi beban hatinya kepada kedua anaknya itu. Di mata mereka, “papa” adalah sosok yang mengagumkan sebagaimana yang selalu ditanamkannya pada pikiran mereka. Bagaimana mungkin ia merusak image itu dengan keluhan-keluhan hatinya selama ini… Monica pun hanya bisa meraih bahu-bahu mungil kedua anaknya itu agar mendekat ke pelukannya. “Mama ‘dah keterlaluan akhir – akhir ini…”, Monica membisik lirih, “Mama ‘gak seharusnya bentak – bentak Sisca dan Andrew… Mama sayang kalian… Maapin mama, ya…”

Sisca dan Andrew langsung menghamburkan tubuh mereka memeluk Monica.

            “Iya, ma…”, kata Sisca. Sementara si bungsu mengerutkan dahi-bertanya pada mamanya…“kenapa, sih… sekarang… mama sering galak – galak, marah – marahhh… bentak meluluuu…”

Monica menarik nafas dan terenyuh sejenak…”Maapin mama, ya… Mama salah…”

            “Apa karna papa pulangnya malem terus ya, ma?” penuturan Sisca mengejutkan Monica. Anak ini sudah mulai membaca situasi, Monica membatin.

NURANIWhere stories live. Discover now