MOTHER'S HEART TERAPHY CENTRE

1.7K 28 0
                                    

MOTHER’S HEART TERAPHY CENTRE

Di hari minggu pagi ini, Hega tampak lebih tenang. Tapi Raymond sangat berhati-hati dengan perkataan dan tindakannya sendiri. Hega yang sekarang sangatlah sensitif dan defensif.

Raymond sedang membawanya ke taman-taman di halaman belakang rumah sakit. Agar Hega merasa lebih rileks…

            “mon… tolong ambil hape saya… telpon Pak Antonius”, kata Hega tanpa basa-basi. “Trus hapenya kasih ke saya kalo yang ngangkat Pak Antonius. Tapi kalo yang ngangkat, istrinya… mati’in aja”, sambung Hega lagi.

Raymond terenyuh. Terpaku dengan perasaan yang campur aduk. “Bu…”, mulai Raymond.

            “Hega! Gue tuh bukan ibu lo!”, bentak Hega dengan kasar.

Raymond menarik nafas panjang. Dan menghelanya perlahan sebelum ia menjawab, “Terakhir saya hubungi hape Pak Antonius… yang saya tau, I… eh, kamu keliatan shock… nanti kamu tambah terluka kalo denger yang gak enak lagi… jangan, ya…”, pinta Raymond lembut.

            “Saya cuma mo tau keadaannya, mon… apa dia baik-baik aja… apa dia bahagia… apa Mira maapin dia…” Hega menerawang memandangi rerumputan…

            “Dia bahagia, Bu… eh, Hega…”, jawab Raymond masih kikuk mengubah kebiasaannya memanggil Hega dengan sebutan “Ibu” di depannya.

            “Kamu tau darimana?” Hega berusaha menoleh ke belakang. Tapi tidak banyak. Perutnya selalu kram bila ia memaksa dirinya terlalu banyak bergerak.

            “Saya sering kasih orderan mobil second ke Pak Antonius…”, jawab Raymond.

            “Jadi… keuangannya baik-baik aja?”, tanya Hega lagi. Dahinya mulai berkerenyit. Ia mulai bergetar menyadari bahwa dirinya benar-benar sudah dilupakan oleh Antonius.

            “Iya, bu… Hega... Pak Antonius udah dipercaya’in untuk kelola showroom mobil second di Jakarta Timur…”

            “Mira?” Hega berusaha menoleh lagi.

            “Ibu Mira kenapa?” Raymond melangkah ke sisi Hega dan setengah berlutut di situ agar Hega tak perlu repot-repot lagi menoleh padanya.

Hega mengerenyitkan dahi padanya. Matanya seperti anak kecil yang ketakutan. “Apa Mira… balik lagi sama Pak Anton?”

Raymond menatap mata Hega dengan pandangan iba. Ia tahu ini akan membuat Hega terluka. Bahkan dirinya sendiri pun terluka, harus melihat Hega terluka karena laki-laki lain. Raymond hanya mengangguk. Mata Hega mulai berkilat basah.

            “Mereka bahagia? Apa Pak Antonius bahagia?”, tanya Hega dengan bergetar.

Raymond menghela nafas lagi. Ia merasa berat melihat keadaan Hega yang seperti ini. “Saya gak tau seluk-beluknya… yang saya tau, mereka bersama lagi dan ngejalanin hidup mereka seperti biasa lagi…”

Hega termenung dengan tatapan nanar ke atas rumput. “Gak adil”, desisnya. “Mereka bahagia… aku terpuruk. Ini gak adil, mon…” Hega mulai terisak.

Raymond ingin sekali memeluk Hega. Tapi ini di depan umum. Dan ia termasuk tipe laki-laki yang pemalu dalam urusan percintaan… “Hega… udah, ya… rela’in…”, kata Raymond lembut.

Hega langsung berpaling pada Raymond dengan cepat. Dengan rahang saling beradu saat mulutnya mengatup rapat-rapat untuk menggemeletukkan gigi-giginya. “Rela’in? Saya hancur, mon… saya udah berusaha menjauhi Anton… Tapi dia yang menangkap hati saya. Gak mo lepasin… ini gak adil… ini gak adil…” Hega sesegukan. Beberapa pasien yang ditemani keluarganya, yang sedang lalu lalang, mulai menoleh pada Hega dan Raymond.

NURANIWhere stories live. Discover now