KESEMPATAN BAIK

1.7K 23 1
                                    

KESEMPATAN BAIK

            Antonius sedikit mengantuk,,, terduduk di balik meja kerjanya. Sebuah meja kayu jati berpelitur baru, sederhana, dengan beberapa foto berbingkai kayu di atasnya. Matanya terus menerawang memandangi foto Mira dan anak-anaknya. Ia menguap beberapa kali. Ia sedang berada di showroom mobil second yang dipercayakan pemiliknya; Johan Tan, kepadanya. Dan orang yang bernama Johan Tan itu sedang berdiri di pintu utama showroom,,, pintu ganda kaca standar... seperti layaknya pintu utama sebuah showroom mobil. Johan Tan sedang mengamat-amati Antonius di jarak itu. “Wah, ton… you gue bayar bukan buat nguap-nguap, ton…”, katanya, mengejutkan Antonius yang langsung saja membenarkan posisi duduknya. Tapi senyum terkekeh menggaris dengan melingkar jelas di permukaan wajah yang berisi itu. Kulitnya putih layaknya orang-orang keturunan chinesse. Tinggi tubuhnya standar. Tapi dadanya memperlihatkan hasil olah tubuh yang cukup baik, yang cukup rutin dilakoninya. Rambutnya sudah hampir memutih semua tapi perawakannya masih sangat gagah. Mengingatkan Antonius pada sosok Ferry Salim bila tokoh public figure itu menjejak usia lebih dari lima puluh tahun nanti. “Napa you ngelamun, tooooon…” Johan langsung saja duduk nyaman di kursi di depan meja kerja Antonius. Dengan santai, tangannya menggamit foto keluarga di atas meja Antonius yang sejak tadi dipandangi Antonius. “Ada problem di rumah, hah?”, tanya Johan. Antonius menggeleng cepat.

            “Kemaren… Daniel Hendrik ketemuan ma gue, ton…”, lanjut Johan lagi. Membuat Antonius duduk dengan gelisah. “Jangan khawatir… dia gak jahat, kok… tapi dia mang cerita gimana you pernah khilaf, ton… Si Pak Heli juga pernah cerita ma gue,,, dia sempet kecewa ma you, ton…”

Antonius semakin gelisah menggeser-geser bokongnya berusaha membuatnya duduknya terasa lebih nyaman. Tapi tidak juga terasa nyaman…

            “ng… itu… ng,,, itu…” Antonius gelagapan. Wajahnya yang tidak berkulit putih tapi cukup berwarna terang sebelumnya, mulai berangsur memerah. Melihat itu, Johan tergelak kencang sejadinya. Antonius menatap Johan dengan sorot mata tidak mengerti.

            “Huahahahahahahaaa… Gue pernah ngalemin posisi kayak you nih, tooon… tapi gue lebih pede dari you…” Johan menahan geli di perutnya yang tebal namun tidak buncit.

Antonius terdiam. Tak tahu harus berkata apa. Hanya menunggu… apakah Johan akan memecatnya…

            “Si Daniel dan Pak Heli bilang… you cocok banget kalo kerja bareng gue, ton… satu warna… 'garis keras'… dan gue juga pernah khilaf lebih parah dari you, ton…”

Mendengar kalimat Johan sampai di situ, Antonius langsung memberanikan diri menatap mata Johan. “ah?’ hanya itu yang keluar dari mulut Antonius.

Johan mulai memasang wajah seriusnya saat ia mulai bercerita…

            “Gue dulu anak orang kaya… anak bungsu pula, ton… tiap hari gue gede pake uang… gue sih, gak nyalahin ortu gue, ton… namanya berkat ortu kan berkat buat anak juga. Tapi gue tumbuh jadi orang yang ngegampangin semuanya. Gak punya tanggung jawab.” Johan terbatuk-batuk sebentar,,, sebelum meneruskan, “Gue doyan judi, dugem, mabok, perempuan, ngedrugs… pokonya, idup foya-foya… gue merit karna cinta… tapi gak ngerti cinta sejati tu apa. Almarhum bini gue orangnya baik, sabar, cantik, anak dari keluarga baik-baik… poko’nya,,, gak ada kurangnya, ton!!!” Johan begitu ekspresif saat bercerita, sampai tangannya menggebrak meja dengan keras, membuat Antonius terperanjat beberapa kali. “Tapi heran… gue tetep aja ngerasa kosong… kayak nyari-nyari sesuatu yang orang-orang bilang,,, nyari jati diri kali, ya… gue masih judi, dugem, mabok, maen perempuan ma pake drugs… poko’nya segala yang buruk deh, ton… gue dah nyakitin hati keluarga gue dan bikin malu… ternyata gue baru sadar pas dah tua… ternyata gue gak punya tujuan dalam hidup ini. Yang bikin gue luntang-lantung gak jelas. Gue pernah karir cukup sukses… di otomotif juga… dan berakhir di penjara. Keluar dari penjara…” Mata Johan menerawang sambil mendesah beberapa kali dengan kuat… seolah ada penyesalan tersirat di matanya… “Bini gue dah meninggal karna sakit… gue pikir gak ada tempat lagi buat gue… gue salut dengan gimana almarhum bini gue bertahan di dalam nuraninya… dia berhasil gede’in anak-anak seorang diri,,, tanpa nafkah atau dukungan dari keluarganya yang bersikeras minta dia gugat cerai… dia bertahan sampe akhir, ton… gak mo cere ma gue… tu kata cere,,, keluar dari mulutnya aja gak pernah, ton…” Mata Johan yang tadi bersemangat dan penuh dengan antusiasme, mendadak basah oleh genangan air mata. “Selama di dalam penjara… bini gue setia dateng, nguatin gue… sampe gue pikir… ya, Tuhan… siapa gue ini, ya… gue begitu dicintai… kenapa Tuhan masih jaga hati dia untuk tetep mengasihi gue, ya…” Johan geleng-geleng kepala dengan mata menerawang seolah masuk kembali ke masa-masa yang sedang diceritakannya. Antonius terenyuh mendengarnya. Berharap Mira bisa seperti itu. Tapi ia sudah tidak mau lagi membanding-bandingkan Mira dengan siapapun. Ia merasa itu tidak adil buat Mira. Johan pun meneruskan, “Waktu gue keluar dari penjara… gue bahkan gak sempet liat saat-saat terakhir bini gue, ton…” Johan menghela nafasnya. Ia mulai terlihat sesak di bagian yang ini, “Gue gak sempet bahagia’in dia…” Johan menghela nafas lagi sambil melanjutkan, “Dan surprisenya nih, ton… gue pikir anak-anak gue bakal ngelepeh liat gue pulang… ternyata mereka welcome banget… mereka peluk dan cium gue… mereka cuma bilang, selama gue gak ada… ada satu bapa yang jaga mereka… bapa yang bertanggung jawab. Gue sempet mikir apa bini gue kawin lagi tanpa sepengetahuan gue…” Johan geleng-geleng lagi. “Trus anak-anak gue baru bikin gue ngerti… mereka bicara tentang Tuhan… kalo Tuhan punya hati seorang Bapa yang bertanggung jawab penuh bagi mereka yang mau berserah dan percaya padaNYA…”

NURANIWhere stories live. Discover now