PAHLAWAN HATI

1.8K 27 2
                                    

PAHLAWAN HATI

Raymond menguatkan segenap batinnya untuk membujuk Hega agar mau masuk ke dalam penanganan “MOTHER’S HEART THERAPY CENTRE”.

Ia bukannya takut menghadapi amukan Hega sekali lagi… Ia hanya tak sanggup melihat Hega merasa begitu terbuang dan tersisih…

Raymond mendorong pintu kamar tempat Hega berbaring, dengan perlahan... tanpa mengetuk ataupun bersuara. Ada sedikit luka di tangannya karena ia sempat terjatuh di tangga darurat menuju lantai 3 rumah sakit, saking terburu-burunya untuk segera mendampingi Hega.

Raymond melihat Hega terbaring terlentang seperti biasanya. Lampu kamar masih menyala. Hega sering bermimpi buruk bila lampu dimatikan. Para suster harus menunggu agar Hega benar-benar pulas untuk bisa mematikan lampu. Raymond melihat Hega menerawang kosong ke langit-langit.

Raymond melangkah dengan sangat pelan mendekati ranjang Hega. “Bu…”, panggilnya.

Hega menoleh lemah pada Raymond dengan mata cekung dan lekukan pada pipi yang semakin terlihat jelas karena tubuhnya semakin kurus. Ia selalu membuang makanannya. Dan mengamuk bila suster membujuknya untuk makan. Ia menyuruh semua orang keluar dari ruangan.

            “mon…”, Hega menyahut pelan. “Apa kamu cape, mon?”, tanyanya memperhatikan Raymond mempercepat langkahnya untuk sampai ke tepi ranjang.

Raymond mengangguk kecil. “Sedikit”, katanya sambil tersenyum. Hega melihat luka pada tangan Raymond. “Kenapa tangan kamu, mon?”, tanya Hega seperti terlupa kalau baru kemarin ia mengamuk dahsyat pada Raymond.

            “ah… ini cuma kepentok aja…” Raymond tersenyum simpul. Merasakan perhatian kecil Hega bagai siraman air segar untuk dua tahun yang berlangsung ini… Lalu kemudian Raymond mengendus bau yang tidak sedap menyengat hidungnya. Ia menyadari kalau Hega buang air besar di popoknya. Tapi ia menyembunyikan apa yang diendusnya itu… Ia langsung saja memohon diri pada Hega sejenak untuk keluar sebentar. Ia beralasan ingin ke cafetaria di lantai bawah. Ia tak tega bila Hega merasa malu. Raymond berniat memanggil suster untuk mengganti popok Hega… Dan Raymond melakukan hal ini selama dua tahun berlangsung… Ia berpura-pura meninggalkan kamar Hega sebentar, lalu suster masuk mengganti popok Hega, lalu Raymond kembali lagi ke kamar, seolah-olah ia tak pernah tahu…

Tapi kali ini Hega tersenyum padanya. “mon… kamu selalu ke kantin di jam-jam tertentu… lalu balik dengan hitungan waktu yang sama…”, tutur Hega sambil melihat ke jam dinding di seberangnya, membuat Raymond bingung harus menjawab apa.

Hega berkata-kata lagi, “Apa kamu lupa, mon? Saya masihlah orang yang jeli melihat segala sesuatu dari logika?”

Raymond merunduk. “Eh… Bu… tapi saya… saya laper mo beli makanan, Bu…”, sahut Raymond berbohong. Raymond sudah cukup lama tidak mau lagi menyantap makan malam. Ia hanya mengkonsumsi vitamin dan buah-buahan. Ia berniat mengurangi berat tubuhnya agar menjadi lebih menarik di hadapan Hega.

Hega masih menyambung perkataannya, “…dan dalam jeda waktu di antaranya,,, slalu saja suster-suster dateng ngeganti popok saya, mon…”

Raymond memundurkan kepalanya ke belakang, terhenyak dan bingung harus beralasan apa lagi.

Hega masih saja menyambung perkataannya, “Kamu ngelaku’in itu… karna gak mau saya malu? Atau karna kamu ngerasa geli dan jijik?”

Raymond langsung mengangkat wajahnya yang sempat merunduk, untuk menatap Hega dan berkata cepat, “Saya gak pernah ada perasaan geli atau jijik sama Ibu… Beneran, Bu!”

Hega tersenyum mendengarnya. “Saya tau itu… kalo enggak,,, kamu udah meninggalkan saya sejak lama, mon…” Mata Hega mulai berkilat basah. Akhir-akhir ini Hega terlihat mudah sekali menangis. “Maapin saya kemarin, mon… Saya lepas kontrol… Saya gak sepantesnya nuding kamu gak bayar harga… saya liat buktinya… selama dua tahun ini… gak akan bisa saya bales dengan apapun juga, mon…”

NURANIWhere stories live. Discover now