INDAH PADA WAKTUNYA

Start from the beginning
                                    

Rena yang mendengar itu, langsung menggumam kecil pada Suster Malla, “Eh… dia sadar… mana yang mimpi atau mana yang nyata gak, sih?”

Suster Malla hanya tersenyum. “Catet aja yang kamu denger. Jangan kamu nilai-nilai”, jelas Suster Malla.

Raymond terenyuh. Ia tahu orang tua Hega sudah meninggal sejak Hega masih di bangku kuliah. Meski ia tak tahu bagaimana persisnya orang tua Hega meninggal.

            “Mamanya Ibu? Oooh…” hanya itu yang bisa terlontar dari mulut Raymond. Ia memandang Hega dengan prihatin. Tahu-tahu Hega meraih tangan kirinya dan menggenggamnya dengan erat. “Mira…” Hega mendesis tiba-tiba.

            “Mira? Kenapa?”, tanya Raymond. “Saya liat Mira, mon…”, tutur Hega dengan nada bermakna. Makna yang tidak bisa dimengerti oleh Raymond.

            “Mira istrinya Anton, mon…”, sambung Hega.

Raymond sedikit terhenyak dan mulai memundurkan langkahnya, enggan membahas soal Antonius ataupun orang-orang dekatnya. “Bu…”, mulai Raymond. “Rela’in, ya… biarin mereka bahagia…”, kata Raymond.

Hega merunduk sejenak. Seperti merenungkan dunianya sendiri, dunia yang semakin sulit dimengerti oleh Raymond. Hega menggeleng…

            “Bu… Ibu harus rela’in…”, kata Raymond lagi.

Hega menggeleng lagi. “Saya gak mau Mira sedih…” Hega menatap mata Raymond lekat-lekat. Raymond tampak terkejut. sementara yang lainnya menunggu, memandangi Hega dengan tanda tanya. Rena sedang siap-siap untuk mencatat lagi. Ia diharuskan mencatat nama-nama yang sering di sebut-sebut Hega.

Hega membuka mulutnya lagi dengan nada bicara yang tenang. “Saya masih cinta Anton”, kata Hega, “Tapi Mira sayang sama saya… Saya liat dia, mon…”

            “Ibu… Ibu liat Bu Miranya Pak Anton? Mira yang itu? Liat di mana? Di mimpi?”, tanya Raymond beruntun. Hega menerawang lagi ke langit-langit. Tidak menjawab dengan jelas. “Saya liat Mira… saya tau dia sayang sama saya…”, Hega menggumam kecil. “Saya tau…”

Raymond terdiam sebelum berbisik pada Suster Malla. “Sus… sukarelawan yang bertugas di shift malem,,, namanya Mira juga kan?”

Suster Malla mengangkat bahu. “Tanya sama manajemen aja ya, Pak…”

            “Tanya Friska aja, Pak Ray…” Rena menyahuti cepat. “Friska pasti tau…”

Raymond termenung dengan rasa penasarannya. Ia tak sabar bertemu muka dengan yang bernama Mira…

            Pukul dua siang tepat, Friska sudah muncul di ruangan saat Rena bersiap-siap untuk pulang. “Sampai nanti ya, Pak Ray…”, kata Rena sambil melambai. Suster Malla sudah lebih dulu meninggalkan ruangan. Friska menebar senyum hangatnya pada semua yang ada di ruangan… “Halooo… gimana kabar semuanya, nih?”

            “Baek…”, jawab Rena lebih dulu, “Duluan ya, Fris…” Rena melambai dan melangkah cepat ke luar kamar sambil menyangkutkan tali tasnya ke bahu.

Friska mengangguk. Ia menoleh pada Raymond. Wajah Raymond memerah... bila Friska tersenyum sambil memandangnya lekat-lekat seperti itu. “Gimana Bu Hega, Pak?”, tanya Friska.

            “Ada kemajuan”, jawab Raymond. Ia mengambil kursi untuk terseret ke dekat ranjang Hega. Mata Hega masih saja menerawang sambil senyum-senyum sendiri.

            “Saya salut, loh… sama Pak Ray…”, kata Friska lagi. Membuat Raymond semakin salah tingkah. “Eh, salut kenapa?”, tanya Raymond.

NURANIWhere stories live. Discover now