Merajut Asa

45 4 0
                                    

Semua telah usai. Masa depan mereka sudah terlanjur hancur. Komunitas sudah bubar. Tak ada lagi harapan yang tersisa. Hanya tinggal sepenggal cerita yang sudah tercoreng di berbagai media.

"Apakah kita masih bisa diterima oleh kaum difabel tuli?" tanya Roy kepada ketiga sahabatnya. Termasuk kepada kekasihnya Arum yang juga ikut di dalam perbincangan mereka.

Sahut Halib, "Lay, kau jangan berpikir kerdil seperti itu lah. Tak suka aku."

"Mengembalikan nama baik kita adalah harga mati. Termasuk nama kalian berdua yang banyak dicoreng di media," Putra berucap.

Cahyani ikut bicara saat sadar dari pingsannya, "Sekarang apa langkah kita selanjutnya? Melanjutkan kuliah atau meneruskan masa depan komunitas?"

"Langkah kita yang paling utama adalah, menyembuhkan kamu dulu, Cahyani," Arum mengusap kepalanya.

"Aku nggak sakit, Arum. Kamu jangan terlalu memikirkan aku. Pikirkan lah pacar kamu itu," Cahyani menunjuk Roy yang ada di sebelahnya.

Sontak Halib sama Putra kaget. Mereka belum tahu kalau Roy sudah jadian sama Arum. Tak ada pemberitahuan khusus. Apalagi sampai syukuran makan gratis. Tak ada sampai saat ini. Tiba-tiba sudah mendengar kabar resmi pacaran.

"Nama kita sudah terlalu buruk di mata orang. Mungkin sudah tak ada tempat di hati dan pikiran mereka tentang apa yang kita lakukan."

"Kau tenang saja, Roy. Malam ini semua harus sudah beres. Aku akan pergi menjemput Ifa. Dia adalah kaum difabel tuli yang harus segera ditarik ke komunitas. Potensinya akan menjadikan kaum difabel lain bersemangat," Halib memberi saran.

"Kalau begitu. Aku akan ikut," ucap Roy kemudian.

"Aku juga ikut," kata mereka semua. Akhirnya mereka sepakat dengan ide Halib. Ifa kembali dijemput ke kampung halamannya.

Tak sia-sia. Ifa pun masih mau bergabung dengan komunitas. Tapi mereka harus berusaha keras untuk meyakinkan orang tua Ifa. Pasalnya, kabar tentang kasus yang menimpa komunitas telah beredar luas.

Lama mereka meyakinkan. Akhirnya orang tua Ifa pun luluh dengan rayuan Putra. "Tante. Kami akan berjanji membuat Ifa dikenal dunia. Termasuk keahlian model yang dimilikinya. Kami akan melanjutkan perjuangan gurunya saat melatih Ifa menjadi model."

"Iya, tante. Ifa harus sukses. Dia harus menjadi contoh bagi kaum difabel tuli lainnya," sambung Cahyani.

***

Kini Ifa telah kembali ke komunitas. Dia kembali berproses dengan para volunteer. Setiap hari mengasah skill dalam dunia model. Para volunteer tak tinggal diam. Mereka mencari dan mendaftarkan Ifa di setiap even fashion show.

Kemampuannya kini sudah di atas rata-rata. Dia sudah kembali menjuarai berbagai ajang dunia modelling. Penghargaan sudah tersusun rapi di lemari hias miliknya. Tropy kini menjadi makanan sehari-hari Ifa. Karena hampir setiap hari dia ikut dalam berbagai even fashion show.

Teman-teman Ifa yang tuli kini mulai bangkit. Komunitas kini terisi kembali. Semua orang sudah mulai berangsur percaya lagi. Orang tua yang memiliki anak difabel tuli kini telah mengantar kembali ke komunitas.

Media mulai mengangkat namanya lagi. Nama Roy, Halib, Putra dan Cahyani. Juga Arum yang menjadi volunteer terjemah bahasa isyarat kaum difabel tuli. Komunitas kini telah berwarna kembali.

"Untuk relawan semuanya. Berhubung waktu pendaftaran masa kuliah segera dibuka. Saya mohon kita sama-sama mencari informasi kuliah untuk teman-teman kaum difabel tuli. Mereka harus kuliah seperti kita," kata Roy saat melakukan diskusi rutin.

"Pendidikan itu bukan hanya kepada mereka yang normal. Tapi wajib bagi mereka yang berkebutuhan khusus juga. Perguruan tinggi harus menyamakan derajat semua manusia. Termasuk mereka yang disabilitas. Karena mereka juga bagian dari manuisa."

"Betul itu, Roy. Perguruan tinggi harus hadir pada mereka yang membutuhkan. Bukan selalu mereka yang dibutuhkan."

Diskusi pun berjalan awet hingga larut malam. Cahyani yang tak berani pulang akhirnya diantar oleh Halib. Cemburu buta pun kembali muncul dari wajah Putra.

"Kamu cemburu, ya?" goda Arum yang membuat Roy tertawa.

Dijawab singkat, "nggak."

"Jangan terlalu mencinta. Nanti terluka. Jangan pula terlalu memegang erat. Nanti berkhianat," Arum menepuk pundak Putra yang terlihat malu karena digodanya.

"Seperti cinta kamu sama Roy ini, ya?
Akan lepas karena terlalu memegang erat," tanya Putra sambil tertawa.

"Maksudnya?"

Putra tak menjawab. Dia langsung memutar gas sepeda motornya dan meninggalkan lokasi. Lalu Arum melihat Roy seolah meminta bukti.

"Buat apa aku menyisakan cinta? Sementara yang kupunya masih selalu menggoda. Tak akan kulepas tali yang sudah kuikat rapi. Karena kamu masih selalu di hati," Roy merayu pacarnya.

Vote dan komen, ya. Terima kasih

Malang Menyisakan CintaWhere stories live. Discover now