Donasi Fantastis

48 6 1
                                    

Pagi pun kembali tiba. Kabut embun masih menyelimuti jalanan. Orang masih sepi beraktivitas. Hanya terlihat dua atau tiga orang yang sedang mengantar buah hatinya ke sekolah.

Halib dengan semangatnya menjemput Cahyani. Mereka berdua akan menjumpai donatur komunitas. Sebelumnya sudah berjanji akan menyumbangkan biaya untuk pembinaan para penyandang tunarungu melalui komunitas.

Masyarakat sudah banyak melihat perubahan pada anak-anak tuli. Yang awalnya tak memiliki semangat hidup karena keterbatasan. Pikiran itu berubah drastis sejak mengikuti berbagai kegiatan di komunitas.

Orang tau penyandang tunarungu juga semakin percaya atas kiprah relawan. Dukungan semakin mengalir. Para donatur berbondong-bondong menyumbangkan hartanya. Relawan semakin semangat untuk mendorong perubahan.

"Selamat pagi, Cahyani." Halib menyapa Cahyani yang sudah menunggu di depan pagar besi yang mengkilat.

"Waduh, kau ini baru operasi, ya?"

"Operasi?" tanya Cahyani penasaran.

"Soalnya wajah kau itu menyinarkan cahaya di hatiku."

Cahyani tersenyum lebar dengan gombalan Halib, "Pagi-pagi udah gombal."

"Waktu aku bangun tidur tadi. Aku langsung membuka handphone. Tapi kata rindu sudah tidak ada," beber Halib saat mengendarai motor matic miliknya.

Rambut Cahyani yang sebahu dihempas angin jalanan. Kadang, rambutnya yang nakal menyentuh wajahnya yang halus. Maklum anak orang kaya. Tiap hari perawatan dengan dokter kecantikan pribadi.

"Cahyani?"

"Iya, Halib."

"Nah itu kau dengar. Kenapa tidak ada kata rindu pagi ini?"

"Karena aku sudah sama kamu, Halib. Udah, kalau nyetir itu fokus dulu."

"Oke."

Halib diam. Dia terus memutar pergelangan tangan kananya. Sepeda motor matic miliknya pun berjalan kencang. Maklum masih pagi. Pengendara lain masih belum turun ke jalan. Hanya beberapa sepeda yang berusaha mendahului.

Mungkin karena terlalu kencang. Cahyani pun memeluk Halib dengan tujuan pegangan untuk keamanan. Belum lama dipeluk dari belakang.

Halib kemudian berkata, "Peluk yang erat juga tidak apa-apa, Cahyani."

Cahyani melepaskan pelukannya dengan cepat. Sedangkan Halib semakin menggoda Cahyani.

"Kalau pun kau bukan pacarku. Setidaknya kau sudah pernah memelukku dengan mesra. Dan, itu bagian dari tanda yang kau diamkan selama ini." Cahyani menyubit Halib dari belakang. Sepeda motor itu masih berjalan kencang.

"Stop. Stop. Halib. Kalau nggak salah itu rumah donatur komunitas kita," Cahyani menunjuk dengan jari lentiknya. Sedangkan motor yang dikendarai mereka melakukan rem mendadak.

Benar saja. Mereka langsung disilakan pemilik rumah masuk. Mereka menemu donatur yang sedang membaca koran terbitan kota. Melihat mereka berdua sudah datang, akhirnya sang donatur melepaskan koran dan kacamata bacanya di atas meja yang sudah ada kopi panas.

Rumah sang donatur itu sangat sederhana dibandingkan dengan rumah Cahyani atau rumah lainnya di tengah kota. Sang donatur pun meninggalkan teras tempat baca koran hariannya.

"Silakan. Silakan duduk mas, mbak!" sambut sang donatur.

"Iya terima kasih, pak. Mohon maaf merepotkan pagi begini," Cahyani mengawali.

"Saya bangga sekali ada anak muda yang peduli kemanusiaan seperti yang kalian lakukan ini. Dulu, saya pernah menjadi relawan. Tapi belum sampai pada misi sudah gagal."

"Waktu itu, saya tidak ada yang mendukung. Termasuk teman dekat saya sendiri. Mereka menghancurkan tujuan yang sudah dibangun. Akhirnya, saya pun gagal berjuang menjadi relawan," cerita sang donatur pada Halib dan Cahyani. Mereka berdua diam. Hanya mengangguk-nganggukkan kepala mendengarkan cerita pagi.

"Silakan dinikmati makanan yang ada ini!"

Halib mengambil makanan, "Wah, mantap kali ini, pak. Terima kasih, pak. Nasi lembek ini sepertinya enak."

"Itu bubur ayam, Halib," Cahyani membertahu. Kemudian diikuti suara ketawa sang pemilik rumah.

"Maaf, pak. Teman saya ini memang sulit membedakan makanan."

Sambil makan. Sang donatur kembali menceritakan kisahnya. Mulai dari merintis komunitas hingga dihancurkan oleh temannya sendiri. Kehadiran mereka menjadi tempat cerita pengalaman sang donatur.

Lama mereka bercerita setelah makan. Terik mentari pun mulai menyengat hingga ke teras tempat baca sang donatur. Vitamin D itu pun semakin menyengat dan membakar kulit. Itu artinya, Halib dan Cahyani tidak sebentar di rumah sang donatur.

Sang donatur bertanya, "Ada berapa orang tuli yang kalian berdayakan?"

"Kurang lebih sekitar 150 orang, pak," jawab Cahyani singkat.

"Kalau boleh tahu biaya yang kalian punya saat ini berapa?"

"Rp 700 juta, pak."

"Kalian mau ditambahi berapa lagi?" tanya sang donatur blak-blakan.

"Kalau segini. Cukup atau tidak?" sang donatur itu mengeluarkan uang Rp 1 miliar.

Mereka tak percaya uang itu akan diberikan semuanya ke komunitas. Dalam pikiran mereka sang donatur akan mengambil separuhnya. Atau paling tinggi Rp 10 juta seperti donatur lainnya.

Halib sama Cahyani tidak menjawab pertanyaan sang donatur fantastis itu. Takut dikira terlalu bernafsu melihat tumpukan penunjang surga dunia itu. Tak ada satu lembar pun dengan mata uang IDR. Tapi semua dalam koper uang itu dalam pecahan dollar AS.

"Kalian hati-hati membawanya. Jangan sampai orang tahu kalau kalian membawa uang. Harta itu tidak selamanya untuk melindungi. Kadang membunuh tuannya sendiri."

Halib gemetar mengangkat koper uang dari sang donarur. Mereka pamit meninggalkan lokasi. Dan, membawa tumpukan harta karun itu ke komunitas. Tak ada yang tahu, kalau mereka berdua membawa uang banyak.

Relawan di komunitas hanya mengira mereka sedang membawa perlengkapan fashion show. Di akhir diskusi rutin. Halib dan Cahyani meminta Roy sama Putra tidak pulang lebih awal. Mereka akan menunjukkan nilai donasi fantastis dari orang terlihat sederhana.

Vote dan komen, ya. Terima kasih

Malang Menyisakan CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang