Bisik Yang Terusik

38 4 0
                                    

"Arum kamu di mana? Aku mau cerita nih," tanya Cahyani yang sedang membutuhkan tempat cerita.

"Ada di rumah. Datang aja ke sini."

Cahyani langsung pergi menerobos senja dan hujan. Dia pergi sendiri menemui Arum. Tak ada lagi tempat cerita yang dia percaya selain Arum. Tak peduli senja apalagi hujan yang sedang menyerang. Dia tetap bergegas pergi menuju cerita curahan hati.

Hujan pun reda di saat dia tiba. Senja pun berlalu di saat dia bertemu Arum. Tangan dan kaki masih gemetar menahan dingin derasnya hujan di senja itu. Arum menyuduhnya masuk dan membuat minuman hangat untuk Cahyani.

"Mau cerita apa? Kok sampai melewati hujan deras begini. Senja lagi," tanya Arum.

Minuman hangat pun diteguh Cahyani, "Panjang ceritanya, Arum."

"Cerita aja. Nggak masalah. Aku siap mendengarkan."

Cahyani mengambil posisi duduk yang nyaman. Lalu kemudian Arum memberikan bantal pada Cahyani di sofa ruang tamu. Tak lama kemudian, Arum mengajak Cahyani masuk ke kamar. Di sana Cahyani menceritakan pada Arum.

Awalnya dia hanya bertanya, "Arum. Mencintai sahabat sendiri salah nggak, sih?"

"Mencintai sahabat itu benar. Apa yang salah kalau mencintai sahabat. Nggak ada tuh."

"Bukan seperti maksudku, Arum."

"Jadi...?"

"Jadi aku menyukai sahabatku lebih dari sekedar suka biasa. Pokoknya begitulah."

"Iya,  iyalah, Cahyani. Kalau bersahabat itu kan beda sama berteman. Pasti cinta kita melebihi dari apapun," Arum belum paham maksud Cahyani. Akhirnya dia menjelaskan dengan detail pada Arum.

"Bukan seperti itu, Arum."

"Jadi aku mencintai salah satu dari sahabatku untuk menjadi pacarku."

"Wah, yang benar ini. Keren sekali. Seperti kisah-kisah dalam film aja."

"Dengarin dulu, Arum."

Arum membayangkan indahnya seperti apa rasanya jatuh cinta pada sahabat sendiri. Dia senyum tak berhenti menunggu cerita Cahyani selanjutnya. Masih di awal cerita. Tapi sudah bikin Arum tertarik mendengarkan kisah selanjutnya.

"Sahabatku itu nggak tahu kalau aku mencintainya. Aku bingung, dia tidak pernah peka."

"Anehnya lagi, kedua sahabatku yang lain yang mengajakku pacaran. Bukan dia."

"Tapi dia tahu kalau sahabat kamu itu nembak kamu juga?" tanya Arum.

"Nggak tahu. Tapi yang dua itu sudah saling tahu. Kecuali orang yang aku suka itu yang belum tahu."

"Duh, berat sekali cerita kamu. Apa kamu terima juga kedua sahabat kamu itu?"

"Iya, nggak. Masak aku terima. Sedangkan aku sukanya sama yang lain."

"Gini aja. Kamu kasih perhatian lebih sama sahabat yang kamu suka itu."

"Aku sudah melakukannya. Itu dari dulu sudah aku coba. Tapi dia malah menganggapku biasa saja. Tak lebih dari sahabat."

"Aku jadi bingung ngasih solusi nih, Cahyani. Biasanya sih kalau di novel cinta yang aku baca seperti itu cara mendapatkan orang yang kita cinta."

Mereka berdua tertawa mendengar solusi yang diambil Arum dari novel cinta. Uniknya, strategi itu mau jadi bahan uji coba mendapatkan orang tersayang Cahyani. Ada-ada saja yang dilakukan Arum.

"Kamu tahu, Arum? Kedua sahabatku itu berkali-kali mengajak aku jadian. Mereka datang bergantian. Dan, itu bikin kepalaku terasa pecah."

"Gampang aja itu. Tinggal ditegasin aja kalau kamu nggak bisa pacaran sama mereka."

"Berkali-kali aku bilang begitu. Tapi dia tetap datang padaku. Kamu sih belum tahu rasanya kalau ngomong sama anak Medan?" Arum langsung ingat nama Halib.

"Jadi yang ngajak kamu jadian itu Halib?" Arum menebak. Tak langsung dijawab. Kemudian Arum kembali bertanya.

"Halib?"

"Iya, Halib. Kan cuma dia sahabatku yang dari Medan."

"Terus yang satunya siapa?"

"Iya, Putra. Siapa lagi kalau bukan dia."

"Jadi yang kamu suka itu Roy?" tanya Arum. Hubungan Arum sama Roy memang tak ada yang tahu. Benar-benar hubungan yang mistsrius. Arum berusaha menebak lagi.

"Roy, ya?"

Cahyani mengangguk tersenyum yang menandakan bahwa Roy yang menjadi pilihan hatinya. Arum langsung menangis tanpa air mata. Dia berusaha terlihat kuat di depan Cahyani. Tak ada mengeluarkan setitik air mata pun.

Hatinya sungguh terluka. Lebih dari yang dirasakan Halib dan Putra. Kini bibirnya tak bisa berkata-kata. Cerita itu langsung terhenti beberapa menit setelah mendengar nama Roy. Banyak lelaki, tapi Roy sendiri yang menjadi rebutan.

"Sejak kapan kamu menyukainya?"

"Sejak pertama kali aku mengenalnya waktu kuliah. Waktu itu bukan hanya persahabatan yang diciptakan. Tapi rasa suka pun mengalir dalam darahku."

"Selama itu kamu memendam rasa pada Roy?"

"Selama itu juga aku menahan air mata. Selama itu juga aku berusaha tidak menyukainya. Tapi ternyata aku salah. Setiap aku berusaha membunuh rasa. Maka rasa itu semakin tumbuh dengan subur."

Posisi Arum sudah serba salah. Awalnya dia hanya dikenalkan oleh Arum pada Roy untuk menjadi relawan. Bukan untuk teman hidup. Tapi waktu berkata lain. Roy pun harus menjalin status bersama Arum.

Arum kuat menahan tangis. Tidak terlihat sedang merasa cemas dan sedih. Dia berusaha mendengarkan apa pun cerita Cahyani. Arum juga tidak memberitahu bahwa dia sudah jadian bersama Roy.

"Air mata bukan satu-satunya tanda kesedihan. Bukan satu-satunya tanda kerapuhan. Bukan juga tanda kelemahan. Tapi aku memilih tidak menangis untuk menutupi itu semua. Biar aku terlihat kuat dari apapun. Walau pun sebenarnya itu lebih sakit dari apa pun. Ternyata ini adalah bisik yang mengusik."

Vote dan komen ya, gusy. Kalian HEBAT. Thanks

Malang Menyisakan CintaWhere stories live. Discover now