Fase Pendekatan

73 8 0
                                    

Masih segar di ingatan Cahyani tantang kata yang menanparnya. Dia kembali mengembalikan kata-kata Cahyani saat mengajaknya bergabung di komunitas.

Arum dengan detail menyampaikan. Hingga Cahyani merasakan sakit yang seribu kali lebih sakit dibanding tamparan fisik. Pikirannya tak bisa normal. Selalu ucapan bibir Arum yang tergambar di otaknya.

Perjalanan persahabatan mereka tak semulus yang direncakan. Tak seindah yang dibayangkan. Harus melewati lika-liku yang tak seharusnya dijalani. Penuh perjuangan dalam mempertahankan sebuah hubungan persahabatan.

Sejak itu, Cahyani selalu murung. Menyendiri dan tak mau bersosialisasi. Kejadian itu menyiksanya hingga dia memutuskan menemui Halib dan Putra.

Itu pun tak semulus biasanya. Halib dan Putra kini sedang sibuk-sibuknya mencari data skripsinya. Menemuinya kini mulai seperti pejabat yang bersembunyi di balik meja. Gampang-gampang susah seperti menggenggam belut dalam ember.

Enam bulan berlalu, Cahyani didatangi Halib dan Putra ke rumahnya. Mereka menemukan Cahyani yang tidak seperti biasanya. Dia kini telah berubah menjadi lebih sensitif. Tak suka pada siapa pun yang mengunjunginya.

"Siang, Cahyani. Boleh kami masuk?"

"Di luar saja."

"Di sini?"

"Iya di luar saja. Kalian bikin kotor rumahku saja."

Halib dan Putra pun menuruti. Mereka mulai merasa bersalah pada Cahyani dan Roy. Lalu mereka duduk di kursi teras rumah Cahyani. Tapi tidak seperti biasanya ketika datang temannya langsung dibuat minuman sama Cahyani.

Kali ini sungguh berbeda. Tak ada sambutan lagi sebagai teman. Tapi layaknya sambutan pada orang penagih hutang. Tempat duduk yang disediakan tidak senyaman yang diberikan sebelum-sebelumnya. Kini sungguh berbeda.

"Kamu kenapa sih, Cahyani? Masak kita disuruh duduk di luar sini," Putra protes.

"Ini rumah saya. Jadi urusan saya. Jika kalian tidak suka silakan pulang."

Wajah Putra langsung merah menahan malu. Karena tak biasanya Cahyani bicara sombong pada mereka berdua. Selalu memberikan yang terbaik. Tapi kali ini sudah berbeda semuanya. Telinga mereka berdua terasa terbakar mendengar kata-kata Cahyani.

"Ada apa? Kok tumben datang ke rumah saya."

Putra tak mau lagi menjawab karena takut divalak lagi sama Cahyani. Putra menyenggol Halib untuk memberi kode untuk dijawab. Halib yang tak pernah paham dikasih kode.

"Kenapa kau ini senggol-senggol aku. Sudah kau jawab saja pertanyaan Cahyani."

Putra berbisik kesal, "Kamu yang menjawab begok."

"Begini Cahyani. Kami membawa untuk kau sesuatu. Kami rindu sama kau. Soalnya sudah enam bulan kita tidak bertemu," Halib menyodorkan bingkisan sama Cahyani.

"Eh, menyogok ini?"

Mereka memberitahu sama-sama, "Nggak-nggak."

"Itu kami bawa saat kami penelitian skripsi di luar kota. Kami tau itu kesukaan kamu. Makanya kami bawain ini untuk kamu," Putra mengawali cerita lagi.

Dijawab singkat, "Oh, iya sudah."

"Kamu sibuk apa akhir-akhir ini, Cahyani?"

"Sibuk memikirkan sifat kalian. Sifat buruk kaian yang tak pernah mau minta maaf."

"Maksudnya?" tanya Putra.

"Iya kalian terlau egois. Sudah menghancurkan komunitas yang dirintis Roy. Menghancurkan masa depan orang-orang tuli di sini."

"Iya sudah aku minta maaf, Cahyani."

"Aku juga minta maaf sama kau, Cahyani," sambung Halib.

"Bukan minta maaf sama saya. Tapi minta maaf sama Roy dan orang tuli yang ada di Malang ini."

Putra dan Halib mikir-mikir tawaran Cahyani. Tak ada kesimpulan dari kedatangan Halib dan Putra ke rumah Cahyani. Tapi hanya membawa bekas luka bakar yang panas di telinga.

Mereka pun pulang. Di jalan, Halib mulai kepikiran perjuangan Roy.

"Sepertinya kita harus minta maaf sama Roy. Kita banyak salah sama dia," ujar Halib sambil jalan.

"Kamu ini bicara apa, Halib? Ngawur aja."

Belum sampai di lintasan simpang balapan Kota Malang. Putra mendapat pesan singkat dari Cahyani. Dia sedang menyetir kendaraan.

"Minta tolong dibacain pesanku ini, Halib!"

"Pesan dari Cahyani," Halib memberitahu.

"Ah, apa katanya?"

"Dia undang kita berdua di acara ulang tahun temannya besok malam di kafe balai kota."

"Jawab saja kita akan datang."

"Tapi aku kan tidak bisa. Kau ini macam mana, Halib?"

"Kita harus datang."

Vote dan komen, ya! Terima kasih pembaca hebatku.

Malang Menyisakan Cintaजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें