Pertama Bersua

57 8 0
                                    

Ibarat pacaran pertama kali kencan. Ada malu dan juga jaim. Semua masih dihiasi rasa malu dan menutup diri.

Kini komunitas semakin menunjukkan gaung. Karena bukan hanya diurus oleh Roy seorang diri. Tapi ada kekuatan dan energi baru dari Halib dan Putra. Tak hanya itu, tapi Cahyani juga kembali ke pelukan yang sama.

Roy memperkenalkan Halib dan Putra pada semua kaum penyandang tuli. Mereka disambut dengan bahagia. Karena semakin banyak orang yang peduli sama orang tuli.

Namun tak sesederhana itu Halib dan Putra bisa berkomunikasi dengan mereka. Tapi harus berjuang belajar bahasa isyarat untuk mendengarkan suara senyap. Dunia tanpa suara yang akan menjadi dari bagian dunianya.

"Wah, cantik sekali dia," Halib berbisik pada Roy.

"Iya memang cantik. Dia itu tidak hanya cantik. Tapi juga sangat pintar."

"Kenapa kau tidak kasih tau aku kalau ada orang cantik di sini."

"Kamu mau cari orang cantik atau mau jadi relawan di disi?"

"Kalau bisa dua-duanya." Disambut ketawa Roy.

"Dia akan menjadi the next Helen dari Indonesia. Namanya Siti Nur Lathifah."

"Pantas kamu betah di sini."

Roy pun kemudian memberitahu pada mereka yang tuli isi percakapannya dengan bahasa isyarat. Kumpulan dunia tanpa suara itu kemudian tepuk tangan dan ketawa.

"Kau bilang apa sama mereka? Kok mereka ketawa?"

"Aku bilang kamu itu suka sama Siti Nur Lathifah."

Halib pun malu dan mukanya merah melihat Siti Nur Lathifah. Sejak itu, Halib tak berani lagi menggoda gadis yang biasa dipanggil Ifa itu. Roy hanya tertawa terbahak-bahak melihat gestur Halib yang tiba-tiba malu.

Arum mulai mengajar bahasa isyarat pada Halib dan Putra. Kadang, Arum langsung menyuruhnya berkomunikasi sama anak tuli. Sekitar lima bulan bergabung bersama komunitas. Halib dan Putra sudah mulai lancar berbahasa isyarat bersama orang tuli.

Putra menghampiri Halib yang sedang membaca buku di pojok perkumpulan komunitas, "Aku mulai menemukan siapa diriku di sini. Untuk apa aku ada di dunia ini? Sungguh mulia memang komunitas ini."

"Kenapa nggak dari dulu kita sudah bergabung memperjuangkan cita-cita orang tuli, ya?"

"Karena dulu kita egois. Kau juga egois. Aku juga egois. Jadi kita lebih memilih berseberangan sama ide teman kita."

Mereka berdua sudah sadar bahwa apa yang dilakukannya tidak benar. Menyesali setiap perbuatan buruk yang dilakukan pada Roy. Mereka berdua selalu menentang keinginan Roy untuk menyamakan derajat penyandang tuli.

"Eh pada ngapain nih? Bisa bantu aku nggak?" Arum mengajak Halib sama Putra.

"Bantu apa?"

"Bantuin aku menghabiskan makanan ini, dong," Arum membawa mereka ke dalam rumah yang sudah dihidangkan bakso malang.

"Kalau ini cukup aku sendiri. Kau balik saja kesana, Putra. Ini tahu telor, ya?"

"Ini bakso, Halib."

Arum tertawa melihat tingkah Halib yang selalu salah menyebut nama makanan. Kebiasaan Halib sudah dari dulu seperti itu. Tak pernah benar menyebut nama makanan.

"Ifa di mana ya? Kok saya jadi rindu dia," tiba-tiba Putra menyebut namanya.

"Hussh...! Dia sudah punya pacar," Arum menggoda.

"Yang benar? Waduh, terlambat dong aku."

Halib melirik Putra, "Kau sama Arum saja. Biar aku yang sama Ifa."

Halib tak berbisik mengatakan pada Putra. Arum dan Putra pun salah tingkah. Halib terus menggodanya.

"Kalian itu macam cocok kali kulihat. Ada persamaan gitu. Jadian saja kalian berdua ini. Aku pasti mendukung."

Putra memukul pundak Halib, "Sadar, sadar. Kamu ini lagi kesurupan, ya? Pergi kau setan. Pergi kau setan."

Arum pun akhirnya bisa tertawa kembali setelah digodain Halib. Kali Halib menang banyak menggoda Putra bersama Arum.

Tak lama kemudian Halib bertanya serius, "Kau lagi kosong, kan, Arum?"

Arum tak menjawab. Langsung pergi mengantarkan mangkuk bakso mereka bertiga. Tapi Putra masih protes tak menerima omongan Halib.

Vote dan komen, ya. Terima kasih.

Malang Menyisakan CintaWhere stories live. Discover now