Ketika Kecewa

48 5 0
                                    

Ifa tak mau belajar lagi di komunitas. Dia tidak datang saat acara perkumpulan bersama. Mungkin karena kecewanya dengan hasil lomba yang diikutinya.

Teman-teman sesama tuli selalu mencarinya. Tak terkecuali relawan penerjemah kesayangan Ifa mencarinya. Kini pacar Roy itu sudah tak lagi berada di pelukan Ifa. Tak ada kabar sejak acara itu.

Relawan bingung bagaimana menariknya kembali ke komunitas. Mereka pun menyusun strategi supaya Ifa kembali. Roy mengajak semua relawan bersilaturrahmi ke rumahnya.

Mereka menemui Ifa sedang murung tak mau diganggu dalam kamar. Ibu Ifa selalu memberikan dukungan. Selalu memberikan semangat. Dan, dukungan itu diberikan ibunya sejak Ifa masih berumur 7 tahun.

Ifa memang lahir normal pada umumnya. Tak ada tanda-tanda cacat sedikit pun. Pendengarannya masih seperti orang dengar pada umumnya. Relawan kemudian membuka kamar Ifa. Tapi tak izinkan masuk. Pintu langsung dikuncinya.

"Mohon maaf, nak. Ifa kalau marah suka berlebihan," ibu Ifa memberitahu. Relawan menyapa orang tua Ifa dengan panggilan tante.

Roy menghentikan Arum sama Cahyani yang menggedor pintu kamar Ifa, "Biarkan Ifa tenang dulu. Nanti baru kita ajak bicara baik-baik."

Mereka duduk bersama dengan oran tua Ifa di ruang tamu rumahnya. Tante dan ayah Ifa kemudian menceritakan kisah masa lalunya. Hidangan teh hangat diminum oleh relawan sambil mendengarkan cerita.

Tante mulai bercerita, "Dulu Ifa lahir nggak seperti ini. Dia dulu normal. Bahkan sekolah dasar dia di sekolah umum."

"Kenapa bisa Ifa seperti sekarang ini, tante?" tanya Cahyani.

"Waktu itu, tante sama ayahnya sibuk bekerja. Ifa tinggal di rumah. Karena pagi sampai siang dia sekolah. Sore hari, sekitar pukul 15.30 WIB kami dipanggil oleh tetantangga ke tempat kerja karena Ifa kecelakaan."

"Kecelakaan?" tanya Roy penasaran. Dia kemudian mengingat saat pertama bertemu dengan Ifa saat mau ditabrak di mal depan rumahnya.

"Iya, sejak itu Ifa nggak bisa mendengar. Itu dimulai saat dia sekolah. Ketika guru sekolah memanggil namanya di absen. Tapi Ifa nggak merespon."

Mata tante seakan tak kuat menceritakan, kemudaian dia beruha melanjutkan. "Besok harinya, guru kembali memanggil namanya di kelas melalui urutan nama di absen. Tapi tetap tak ada respon dari Ifa. Saat itu guru sekolah mendatangi saya. Guru itu menyarankan saya untuk memasukkan sekolah di Sekolah Luar Biasa (SLB). Khusus sekolah anak-anak berkebutuhan khusus."

Benar saja. Air mata pun tak terhindarkan mendengar cerita tante tentang masa kecil Ifa. Masa di mana dia harus mendapatkan ujian yang berat. Ujian mengantarkan dia ke dunia tanpa suara. Dunia tanpa alunan musik yang indah. Dia merasa terpukul dan putus asa menjalani hidup.

"Saat itu, Ifa sudah nggak mau sekolah. Tapi kami selalu memberi semangat pada dia. Mendukung cita-citanya. Namun bukan main sulitnya meyakinkan Ifa untuk mau sekolah di SLB. Kami juga sudah mulai putus asa. Tapi ketika melihat wajahnya, kami diberikan Tuhan hidayah untuk tetap memotivasinya."

"Lalu bagaimana bisa Ifa akhirnya sekolah di sana, tante?" giliran Arum yang bertanya. Relawan yang ikut semua mengeluarkan air mata mendengar cerita tentang dunia baru Ifa. Dunia tanpa suara yang dimilikinya.

"Kami selalu merayunya. Menasehatinya. Dan, memberikan semangat hidup pada dia. Bahwa yang dialaminya bukan suatu yang hina. Akhirnya dia mau masuk di SLB. Ketika masuk sekolah, dia melihat teman-teman barunya mengerak-gerakkan tangan. Lalu dia bertanya apa tante?"

Cerita masih berlanjut. Pipi Arum dan Cahyani sudah merah menahan tangis. Begitu juga dengan Halib, Putra dan Roy yang mengambil tisu berkali-kali. Itu tanda bahwa hati mereka masih tergerak untuk menolong sesama. Memiliki rasa peduli yang tinggi tanpa mengenal berhenti.

"Lalu tante bilang itu bahasa isyarat yang digunakan sesama tuli. Sejak itu dia gigih belajar bahasa isyarat. Semangat sekolahnya kembali mencul."

"Tante hebat. Sangat wajar kalau tante menyandang predikat ibu terbaik bagi Ifa," puji Putra. Cerita sedih pun berangsur usai. Saatnya Halib mencairkan suasana.

"Kau ini macam tidak nangis saja kulihat?" Halib menunjuk Putra yang berkali-kali mengambil tisu.

Tante dan relawan akhirnya tersenyum mendengar Halib bicara. Tante kembali menyambungkan bicaranya.

"Nanti akan tante nasehati Ifa. Tante akan menyuruh dia belajar lagi di komunitas. Tolong ajari dia apa pun yang kalian bisa."


Vote dan komen. Terima kasih

Malang Menyisakan CintaWhere stories live. Discover now