Keteguhan Arum

114 10 3
                                    

Biar pun karang diterjang ombak hingga berlubang. Menghancurkan daratan menjadi samudra yang tenang. Menjulang luas akibat abrasi dan menyempitnya daratan.

Komunitas Peduli Tunarungu sudah berdiri tegak. Meskipun goncangan untuk menggagalkan masih terus berjalan.

Cahyani berhasil membawa Arum menjadi penerjemah bahasa isyarat di komunitas. Rayuan dan ajakan manis Cahyani membuat Arum jatuh hati menjadi relawan.

Tak berselang lama, Arum membawa rombongan teman-temannya bergabung di komunitas yang digarab Roy dan Cahyani.

Sambutan hangat pun diberikan Roy sebagai pendiri komunitas. Namun, ternyata masih ada udang di balik batu. Komunitas yang mulai dikenal, kini mendapat reaksi yang tak mengenakan dari temannya sendiri, yakni Halib dan Putra.

Saat Roy mengadakan diskusi bersama para relawan yang dipimpin Cahyani. Halib dan Putra datang menyambangi, bukan memberikan dukungan atau pun mau bergabung ke komunitas. Tapi malah merecokkan acara.

"Ada apa Halib, Putra? Silahkan masuk dan bergabung di sini," Roy menyambutnya.

"Kami berdua mau ngomong sama kamu, Roy?"

"Sebentar, ya. Cahyani, sini dulu!" Roy mengajak.

Roy menyambung, "Sepertinya mereka sudah mulai tertarik sama komunitas ini. Ayo kita kasih pemahaman ke Halib sama Putra!"

Cahyani tersenyum lebar, "Hah...Serius!"

Roy menarik tangan Cahyani dari kumpulan orang berdiskusi. Mereka berdua merasa bermimpi saat temannya kembali baikan.

Cahyani mengawali cerita malam itu, "Kalian darimana saja? Kok nggak pernah kelihatan? Nyari cewek terus ya?"

"Justeru kami yang nanya. Kalian kemana saja kok nggak pernah ke kampus? Sibuk ngurusin yang beginian, ya?" Putra menunjuk ke komunitas yang sedang diskusi.

"Dengarin, ya. Kalian akan menyesal, kawan. Kuliah kalian terbengkalai. Cita-cita kalian hancur," sambungnya kemudian.

"Oh, berarti kalian berdua datang ke sini hanya untuk memberitahu ini. Supaya aku dan Roy berhenti mengurus komunitas ini, begitu? Halib dan Putra, tolong dengarkan baik-baik, ya. Kami berdua akan tetap mengurus komunitas ini. Ini adalah panggilan jiwa kami. Dan, asal kalian tahu, kami berdua tidak seperti yang kalian sangkakan. Kami punya sendiri cara mengatur waktu."

Roy kemudian menyambung, " Kamu tahu, dibalik senyum dan bahagiamu, ada miliaran manusia yang sedang terluka? Setega itukah kamu melihat manusia yang sedang membutuhkan pertolonganmu? Kamu itu sempurna. Keenam inderamu masih berfunsi dengan baik. Tapi sadarkah kalian ada indera ketujuhmu yang sedang rusak?"

Perdebatan semakin serius. Anak Medan yang berlogat bahasa batak tak mau mengalah.

"Eh, lay. Kau ini ngomong apa? Macam sudah rusak saja otak kau".

Roy menunjuknya, "Mungkin otakku sudah rusak. Tapi hatiku masih waras. Tidak seperti hati kalian berdua yang sudah mati. Mereka itu membutuhkan kalian. Mereka butuh relawan."

"Bodoh kali kau, Roy. Kami ini menyuruh kamu berhenti beginian karena kami sayang sama kau. Bapak sama emak kau menunggumu jadi sarjana. Bukan relawan-relawan macam ini," anak Medan berkicau.

"Mereka harus ditolong. Tidak ada pilihan lain. Mereka harus sejajar dengan orang lain di belahan bumi ini. Mereka boleh kurang dalam fisik. Mereka boleh disebut kaum disabilitas. Tapi, mereka tidak boleh disebut kaum tidak berprestasi."

"Itu menurut kamu, bung," timpal Putra yang lebih memilih fokus kuliah daripada jadi volunteer.

Roy menanyakan tokoh disabilitas dunia, "Apa kamu tahu Helen Adams Keller? Seperti dialah cita-citaku untuk mereka yang berdiri di tanah Malang ini?"

"Sudah lah, Roy. Nggak usah sebut-sebut nama Helen itu. Nggak mungkin kamu bisa membawa mereka lebih tinggi. Mereka sudah ditakdirkan sebagai orang tuli. Jadi itu hanya soal nasib."

Putra merayu, "Gini aja, Roy, Cahyani. Tinggalkan aja ini. Kami akan memberi hadiah. Asal kalian berhenti."

"Eh, Putra. Tidak semua hal bisa selesai dengan materi. Kami tahu kalau kamu anak kaya. Sekarang kamu pergi atau mau aku tampar?"

Suasana pun semakin panas. Relawan yang sedang berdiskusi hanya melongo tak tahu masalah. Sedangkan Cahyani langsung menarik Roy karena terlanjur emosi.

Halib dan Putra sudah bangkit dari duduknya. Bersiap-siap menerima tamparan Roy.

"Sekarang kalian pergi. Ini urusan kami berdua. Nggak usah diganggu pekerjaan kami ini," Cahyani menarik Roy masuk ke ruangan diskusi.


****

"Maaf, mas. Saya sudah baca informasi tentang komunitas ini. Kira-kira kalau mau menjadi relawan apa masih bisa?" tanya seorang perempuan yang berambut sebahu.

Lama bercerita dengan Roy, akhirnya perempuan itu pun resmi menjadi relawan. Kegiatan sehari-hari komunitas mulai ditanganinya. Orangnya pintar dan cerdas. Akhirnya, perempuan ini pun diangkat menjadi bendahara komunitas.

Segala urusan keuangan sudah ada di tangannya. Para tunarungu yang sudah bergabung kini sudah mulai diberdayakan. Tak terkecuali para relawan harus belajar secara rinci mengenai bahasa isyarat.

Berjalan setengah tahun aktif di komunitas. Perempuan yang menjadi bendahara, kini telah menghilang membawa biaya operasional komunitas. Tak ada kabar sama sekali. Komunitas pun harus giat mencari donasi para dermawan.

Tak disangka, saat Roy bersama Cahyani kuliah. Mereka melihat bendaharanya bersama Halib dan Putra. Sontak, mereka pun langsung terkejut. Kemudian mereka mendatanginya dengan wajah bengisnya.

"Kamu siapa sebenarnya? Kenapa nggak pernah ke komunitas? Kamu tahu nggak uang yang kamu bawa enam bulan itu biayanya mereka yang tuli. Ayo berikan uangnya!" Roy menahan marah.

"Ini pasti ulahnya mereka berdua," Cahyani menunjuk Halib dan Putra.

"Dibawa ke polisi saja ini orang," kata Roy.

"Jangan. Aku hanya disuruh mereka. Tolong jangan dibawa aku ke polisi. Akan aku kembalikan uangnya."

Roy semakin naik pitam. Spontan dia menendang Halib dan Putra. Adu jotos pun tak terhindarkan satu lawan dua. Meja dan kursi tempat Halib dan Putra kini telah berserakan seperti kapal pecah.

Adu jotos pun berhenti setelah satpam meredanya. Cahyani hanya bisa menangis melihatnya. Sedangkan orang lain mengira hanya bercanda. Karena mereka adalah empat bersahabat yang tak terpisahkan.

Seminggu kemudian, Halib dan Putra kembali bertemu dengan Arum relawan komunitas saat pelatihan bahasa isyarat. Mereka mengajaknya bercerita dengan serius tentang masalah komunitas. Propaganda pun mulai dimasukkan.

"Mbak, kenapa nggak milih meyelesaikan kuliah dulu baru masuk komunitas ini. Bukannya rugi, mbak?" godanya.

Halib merayunya, "Mending kau masuk ke himpunan aku saja. Aku punya himpunan pengusaha muda. Daripada kau bekerja macam ini. Capek sudah pasti, tapi tidak punya hasil juga sudah pasti."

Arum menjawab singkat, "Kami bekerja tidak untuk penghasilan. Tapi menjadikan mereka punya hasil adalah tujuan kami."

Ikuti cerita selanjutanya. Please tinggalkan komen dan vote-nya.

Malang Menyisakan CintaOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz